Keraguan merupakan hal yang terbanyak melanda hati dan pemikiran manusia, apakah karena tidak cukup pengetahuan atau karena kurang memahami hasil, yang pasti begitulah keadaan manusia sepanjang masa.
Keraguan-keraguan itu bisa dibagi berdasarkan objek, subjek, dan pengaruh-pengaruh yang ditimbulkannya. Menurut Darmodiharjo dan Shidarta dalam buku Pokok-pokok Filsafat Hukum (Apa dan Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia) disebutkan beberapa macam keraguan-keraguan yang terpenting:
1. Keraguan mutlak dan relatif. Apabila manusia ragu terhadap semua persoalan bahkan pada dirinya sendiri, maka hal seperti ini disebut dengan keraguan mutlak. Selain dari hal ini dinamakan dengan keraguan relatif;
2. Keraguan psikis, pertanyaan, dan kondisional. Keraguan bisa hadir karena kondisi kejiwaan seseorang dan juga sangat mungkin muncul karena pertanyaan-pertanyaan yang terkait dengan logika serta kondisi-kondisi zaman, seperti pada zaman Renaissance yang terjadi di Barat dimana telah menghadirkan berbagai keraguan-keraguan tertentu;
3. Keraguan ilmiah, filosofis, dan umum. Keraguan global bisa menimpa banyak orang seperti keraguan terhadap kejadian-kejadian yang dikatakan hadir dalam sejarah manusia. Begitu pula pertanyaan-pertanyaan ilmiah dan filosofis sangat sarat memunculkan keraguan-keraguan, seperti keraguan sebagian filosof berkenaan dengan gerak dan yang semacamnya;
4. Keraguan yang merusak dan membangun. Keraguan dapat dibagi menjadi demikian dengan berdasarkan pengaruh dan efeknya yang positif dan negatif. Keraguan yang berimbas pada rukun-rukun penting keagamaan dan asas-asas akhlak adalah jenis keraguan yang merusak, sementara keraguan yang menyentuh wilayah penelitian ilmiah dan pengetahuan manusia merupakan bentuk keraguan yang membangun;
5. Keraguan fundamental dan struktural. Keraguan bisa menjadi dasar bagi hadirnya keraguan-keraguan yang lain. Keraguan dalam ranah aksioma-aksioma dan asas-asas global disebut dengan keraguan fundamental, sementara keraguan yang hadir dalam domain dan wilayah permasalahan-permasalahan ilmiah dan teoritis dinamakan dengan keraguan struktural;
6. Keraguan ontologis dan epistemologis. Keraguan dalam ranah hakikat-hakikat eksistensi dan perkara-perkara wujud disebut dengan keraguan ontologis. Dan keraguan yang berhubungan dengan kemungkinan pencapaian sebuah keyakinan, ilmu, dan pengetahuan dinamakan keraguan epistemologis;
7. Keraguan yang dikehendaki dan yang dipaksakan. Apabila seseorang secara sadar dan sengaja meragukan sesuatu supaya menggapai suatu keyakinan yang lebih tinggi atau ingin menjadi seorang peneliti, maka keraguannya tersebut dinamakan keraguan yang dikehendaki. Jika tidak demikian, yakni dia terpaksa dan diluar kehendaknya melakukan suatu penelitian atas suatu perkara yang meragukannya, maka hal seperti ini digolongkan sebagai keraguan yang dipaksakan.
Fenomenologi, sebagai perspektif teoritis atau pandangan filosofis yang berada di balik sebuah metodologi, dimasukkan oleh Michael Crotty ke dalam epistemologi konstruksionisme (interpretivisme) yang muncul dalam kontradistingsi dengan positivisme dalam upaya-upaya untuk memahami dan menjelaskan realitas manusia dan sosial. Seperti penjelasan Thomas Schwandt, yang dikutip Crotty, “interpretivisme dianggap bereaksi kepada usaha untuk mengembangkan sebuah ilmu alam dari yang sosial. Kertas peraknya pada umumnya adalah metodologi empirisis logis dan upaya untuk menerapkan kerangka itu kepada penyelidikan manusia”. Pendekatan positivis mengikuti metode-metode ilmu alam dan, melalui observasi terpisah dan diduga bebas nilai, mencoba mengidentifikasi ciriciri universal dari kemanusiaan, masyarakat, dan sejarah yang menawarkan penjelasan dan karenanya, kontrol dan kemampuan dapat diprediksi. Pendekatan interpretivis, sebaliknya, mencari interpretasi-interpretasi yang dikeluarkan secara kultural dan disituasikan secara historis tentang dunia kehidupan sosial.

Perdebatan ini akan dibagi ke dalam tiga tema, yaitu (1) keberlangsungan fenomenologi sebagai tradisi filosofis; (2) motif teologis; (3) dan keterlibatan ilmuan agama secara sosial dalam masyarakat.

1. Kritik Gavin Flood tentang Keberlangsungan Fenomenologi Sebagai Sebuah Tradisi Filosofis
Yang pertama adalah kritik yang dilakukan Gavin Flood tentang keberlangsungan fenomenologi sebagai tradisi filosofis yang menjadi dasar pengembangan riset agama. Menurut Flood, metode yang diperkenalkan para fenomenolog, yang mencoba membatasi pengaruh bias-bias yang mungkin merusak, yang digambarkan oleh Kristensen dan Parrinder sebagai aplikasi teori-teori evolusioner kepada agama dan budaya, serta oleh Eliade dan Smart sebagai kecenderungan-kecenderungan reduksionistis dalam ilmu-ilmu sosial, didasari pada teori filosofis yang memasukkan bias yang lebih dalam, namun lebih sederhana, ke dalam cara suatu pengetahuan diperoleh dan diatur. Dengan mengasumsikan pengalaman universal manusia pada jantung semua agama yang dipahami secara kognitif (intuisi) oleh “subjek yang terpisah”, para fenomenolog mengabaikan, atau setidaknya memperkecil, pentingnya konteks-konteks kultural, historis dan sosial. Di samping itu, “keistimewaan epistemik” yang diberikan kepada periset tetap tersembunyi, karena ia menyembunyikan relasi kekuasaan antara periset dengan komunitas yang diteliti. Dengan melakukan pengurungan fenomenologis untuk menghilangkan semua tipe prasangka, ilmuan agama secara paradoksal tetap mengkontrol pengetahuan dan dengan demikian membuat aturanaturan untuk menafsirkan fenomena keagamaan. Ini membuat fenomenologi, setidaknya, rentan terhadap tuduhan bahwa ia sebenarnya menyebarkan satu metode untuk mempertahankan kekuasaan terhadap objek kajian akademis, meskipun ada kesepakatan maya di kalangan fenomenolog bahwa pengalaman keagamaan personal mereka memberikan akses istimewa ke dalam pikiran seorang praktisi keagamaan. Klaim terakhir terhadap pandangan keagamaan ini, yang tidak terdapat pada ilmuan lainnya, sangat kuat menyiratkan “agenda teologis” di balik fenomenologi agama, dan kemudian menyebabkan ketegangan antara teologi dan kajian akademis tentang agama-agama.

2. Kritik Donald Wiebe terhadap Motif Teologis van der Leeuw, Elliade dan Smart
Wiebe menuduh ketiga tokoh ini telah melakukan teologisasi terhadap kajian akademis tentang agama-agama. Van der Leeuw, misalnya, bersikukuh bahwa setiap ilmuan mesti berangkat dari sebuah orientasi kultural terhadap kehidupan, yang sangat serupa dengan posisi keyakinan pribadi, dan menegaskan bahwa karena ilmuan disituasikan dalam sebuah konteks khusus, maka aktivitas ilmiahnya tidak dapat dipisahkan dari “pencarian religio-kultural” ilmuan itu sendiri. Menurut Wiebe, van der Leeuw dalam hal ini bersifat kekanak-kanakan dan menyesatkan, karena pandangan tersebut mencegah bias-bias peneliti dari keadaan dikenali dan diklarifikasi secara kritis-ilmiah. Argumen ini menghancurkan tujuan akademis yang didukungnya tepatnya karena ia “mengabaikan perbedaan-perbedaan kritis antara agama dan kajian ilmiah-akademis tentang agama”. Ini berarti bahwa van der Leuuw, yang mencoba memindahkan tradisi Belanda yang telah dimulai oleh Chantepie de la Saussaye dan C. P. Tiele melampaui teologi, sebenarnya malah melakukan kebalikannya dengan mengarahkannya kembali kepada teologi. Kata Wiebe, “Dengan van der Leeuw … kajian agama tidak hanya tidak bergerak melampaui tahapan yang telah dicapai disiplin keilmuan itu di Belanda, namun lebih tepatnya kembali kepada pendekatan teologis awal—sebuah pendekatan yang sama saja dengan subversi terhadap kajian ilmiah agama.”
Singkatnya, kritik terhadap fenomenologi agamanya van der Leeuw, seperti dijelaskan Allen, didasari pada asumsi bahwa pendekatan fenomenologisnya didasari pada sejumlah penilaian dan asumsi teologis dan metafisis; seringkali bersifat subjektif dan begitu spekulatif; mengabaikan konteks kultural dan historis dari fenomena agama dan kurang bernilai bagi riset yang berbasis empiris.
Terhadap Elliade, Wiebe menyerang metode hermeneutikanya yang disebutnya sebagai “sebuah upaya untuk memulihkan kembali nilai-nilai dan makna-makna transenden yang telah ditinggalkan yang pernah diberikan kepada para penganutnya oleh tradisi-tradisi itu.” Pandangan ini didukung oleh penegasan Eliade bahwa bentuk-bentuk agama kuno dan primitif adalah paradigmatik bagi kehidupan agama secara umum karena mereka mengungkap “situasi-situasi eksistensial fundamental yang secara langsung relevan dengan manusia modern.” Wiebe melihat minat Elliade dalam tradisi-tradisi kuno dan primitif tidak berangkat dari satu pendekatan ilmiah terhadap kajian agama, karena ini “akan mengharuskan distorsi reduksionistik terhadap kebenaran agama dan karenanya, distorsi kebenaran tentang agama.” Wiebe beranggapan bahwa posisi anti-reduksionistik-nya Elliade menyembunyikan “agenda teologis yang terselubung”. Untuk mendukung hal itu, ia mengutip pandangan Elliade bahwa dengan menafsirkan agama secara “religius”, ilmuan memberikan kontribusi kepada “penyelamatan” “manusia modern”. “Pengetahuan tentang agama” dengan demikian menjadi “pengetahuan religius”, yang dalam pandangan Wiebe mengkonfirmasi metode hermeneutik Elliade “tidak bisa dibedakan dari religio-teologis.”
Baik van der Leeuw maupun Elliade menegaskan bahwa seorang yang religius mengakui adanya kekuatan transenden atau realitas yang supranatural sebagai sumber pengalaman keagamaan manusia. Mereka menegaskan bahwa ini benar buat orang beriman, bahkan mereka melampuai pernyataan ini dengan menegaskan bahwa yang transenden membentuk satu realitas ontologis, yang dalam sebagian hal ilmuan mesti mengalaminya secara personal jika pemahaman yang murni tentang agama ingin dicapai atau dikomunikasikan. Dengan begitu, van der Leeuw dan Elliade rentan pada tuduhan bahwa fenomenologi mereka serupa dengan teologi agama.
Begitu pula, gagasan-gagasan Ninian Smart, menurut Wiebe, ketika dianalisis secara hati-hati, memunculkan pula asumsi-asumsi teologis yang sama di balik fenomenologi agama. Ini tampak jelas pada penolakannya untuk mengikuti posisi “ateisme metodologis”nya Peter Berger karena alasan bahwa itu mungkin bisa menyakiti komunitas beriman. Smart juga bersikukuh pada pandangan bahwa “mempelajari agama” dan “merasakan kekuatan yang hidup dari agama” tidak hanya bisa berjalan bersama, tetapi “mesti berjalan bersama jika kajian tentang agama diharapkan bisa masuk ke dalam era baru yang menjanjikan.” Malah kebalikannya, petuah Smart ini “lebih mungkin memasuki kajian religio-teologis tentang agama yang darinya kajian ilmiah tentang agama pertama kali muncul.” Wiebe menyelidiki apa yang ia anggap deskripsi ambigu Smart karena memasukkan pertanyaan tentang kebenaran agama, yang melampaui kepentingan-kepentingan ilmiah, meskipun Smart mengatakan bahwa kajian agama sangat berbeda dari teologi. Dengan mengangkat isu tentang kebenaran agama, Smart sebenarnya membangun kembali ikatanikatan awal antara kajian akademis tentang agama dan kesalehan. Kembalinya Smart kepada perspektif teologis, menurut Wiebe, ditegaskan oleh caranya menghadapi epoché (pengurungan). Apa yang disebut Smart dengan “pengurungan ekspresi” sebaliknya memberikan ruang bagi ilmuan untuk memasukkan ke dalam penilaian-penilaian yang ditunda itu perasaan-perasaan yang diekspresikan oleh para penganut agama, tanpa mendukung atau mengabsahkan perasaan-perasaan itu. Pada titik inilah, kata Wiebe, ambiguitas posisi Smart muncul. Jika ilmuan agama bertujuan tidak hanya memperoleh pengetahuan tentang agama-agama, namun juga mengungkapkan keyakinannya tentang nilai-nilai dan sentimen-sentimen keagamaan, maka sesuatu yang lebih dari pengetahuan agama akan terkandung, jika bukan teologi, setidaknya metafisika.
Globalisasi kebudayaan bukan hanya sebuah hal yang ditakuti namun adalah sebuah hal yang juga diharapkan dan bahkan di upayakan agar hal itu terjadi. di satu sisi ini baik untuk kemajuan daerah namun disisi lain ini dapat merusak sendi atau norma budaya bangsa. ciri berkembangnya globalisasi kebudayaan ini adalah :
1. Berkembangnya pertukaran kebudayaan internasional.
2. Penyebaran prinsip multikebudayaan (multiculturalism), dan kemudahan akses suatu individu terhadap kebudayaan lain di luar kebudayaannya.
3. Berkembangnya turisme dan pariwisata.
4. Semakin banyaknya imigrasi dari suatu negara ke negara lain.
5. Berkembangnya mode yang berskala global, seperti pakaian, film dan lain lain.
6. Bertambah banyaknya event-event berskala global, seperti Piala Dunia FIFA, Grammy Award, Festival Canes, konser dan lain sebagainya.
efeknya ? mungkin sudah ada dalam benak pemikiran kita semua, karena pengaruh itu nyata dalam penglihatan kita tiap hari di negeri ini.
Pendahuluan

Pada tahun 1925, goncangan pemikiran hebat terjadi di Mesir. Gara-gara terbit sebuah kitab berjudul Al-Islam wa Ushul al-Hukm-Bahts fi al-Khilafah wa al-Hukumah fi al-Islam. Kitab tersebut memaklumatkan bahwa Islam tidak mengatur masalah kekhalifahan, pemerintahan dan negara. Merujuk pada doktrin Injil dinyatakan, ”Berikan kepada Kaisar apa yang menjadi haknya dan berikan kepada Tuhan apa yang menjadi hak-nya.” (Matheus: 22).
Respons terhadap kitab tersebut luar biasa. Kemarahan ulama Mesir sedemikian hebat. Berdiri di garis terdepan, Syekh Rasyid Ridha’, ia memvonis bahwa pemikiran penulis kitab itu adalah pemikiran yang kacau, menyeleweng, dan mulhid (murtad). Terlebih yang menulis adalah Syeikh Ali Abdul Raziq, Ulama al-Azhar Universty, mantan Menteri Waqf Mesir, Hakim Mahkamah Syari’ah, yang dikalangan intelektual Mesir degelari al-Ustadz al-Muhaqqiq, al-Alamah al-Kabir.
Ulama Mesir kemudian terbelah menjadi dua kelompok besar. Pertama, ulama yang mendukung dan membela mati-matian pemikiran Syeikh Ali Abdul Raziq seperti Ahmad Lutfi Sayyid, Thaha Husein dan Muhammad Husein Heikal. Dalam perkembangan berikutnya Heikal bertobat dan menginsafi kesalahannya. Lantas ia balik menyerang pemikiran Syeikh Ali Abdul Raziq dengan karyanya, “Daulat Islamiyat”. Kedua, ulama yang menentang habis-habisan pemikiran Syeikh Ali Abdul Raziq. Ia adalah Syekh Rasyid Ridha, murid kesayangan Muhammad Abduh.
Kontroversial tersebut akhirnya membawa pengaruh yang cukup besar dalam percaturan pemikiran intelektual muslim dunia. Bahkan menjadi cikal-bakal munculnya perbedaan pada generasi-generasi sesudahnya. Hingga saat ini kajian Islam tentang kekhalifahan, selalu diwarnai oleh dua pandangan besar tersebut, ada yang mendukung dan ada pula yang menolak. Termasuk di kalangan intelektual muslim Indonesia. Seperti silang pendapat yang terjadi antara Muhammad Natsir dan Nurcholish Madjid tahun 1970. Topik yang diperbincangkan adalah Islam dan Negara.
Kepemimpinan (imamah) yang merupakan bagian tak terpisahkan dari kekhalifahan atau pemerintahan yang menjadi fokus tulisan ini, juga tidak lepas dari perbedaan pandangan tersebut. Dalam Tarikh Islam, imam (pemimpin) menjadi penyebab utama perpecahan umat Islam pasca wafatnya Rasulallah SAW. Puncaknya saat tebunuhnya Usman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib.
Masing-masing pihak mempunyai kriteria berbeda dalam memilih dan menetapkan seorang imam. Pengikut Ali bin Abi Thalib berpendapat bahwa yang berhak menjadi imam adalah Ali bin Abi Thalib dan keturunannya. Dikemudian hari mereka dikenal dengan kaum Syi’ah. Lainnya berpandangan bahwa semasa hidup Rasulallah tidak berwasiat tentang siapa penggantinya, maka siapapun boleh menjadi imam asalkan sejalan dengan Al-Qur’an dan Sunnah Nabi. Kelompok ini menamakan diri kaum Mu’tazilah.
Lantas ada satu kelompok lagi, kelompok ini adalah kumpulan orang-orang yang kecewa dan tak berpihak pada kedua-duanya, yang disebut dengan kaum Khawarij. Slogan terkenal mereka adalah ”la hukm illa lillah” (pengadilan hanyalah di tangan Allah). Dalil yang menjadi rujukan mereka adalah ”Dan barang siapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah SWT, maka mereka itu adalah orang-orang kafir,” (QS. Al-Maidah:44).


Makna Kepemimpinan
Pasca khalifaturrasidin, pengkafiran sesama muslim makin marak. Persoalannya terletak pada siapa yang pantas menjadi khalifah (pemimpin)? Selain itu dan ini menjadi kajian menarik adalah persyaratan apa saja yang harus ada pada diri seorang khalifah dan apa misi yang dibawa dan diemban oleh seorang khalifah di muka bumi ini? Banyak term yang digunakan al-Qur’an dalam membahas tentang kepemimpinan, yaitu; al-Imam, al-Khilaafah, Ulil Amri, dan al-Malik.
Al-Imam adalah suatu istilah yang berarti pemuka, dipakai dalam berbagai aspek kehidupan. Sejak awal istilah imam digunakan guna menyebut seseorang yang memimpin (amma) salat berjama’ah diantara para partisipan (ma’mun). Ikatan yang demikian erat dengan dimensi keagamaan kelihatannya menjadikan kurang dikaitkan dengan politik, sebagaimana dapat dilihat dari penggunaan khalifah bukan imam pada Abu Bakar dan penerusnya.
Istilah imam akhirnya mengalami perkembangan yang cukup luas, tidak hanya digunakan sebatas dalam pemimpin spritual dan penegak hukum, tapi lebih dari itu juga digunakan dalam ke-khalifahan (pemerintahan) dan amirulmu’minin (pemimpin orang mukmin). Para ulama mengartikan Imam sebagai orang yang dapat diikuti dan ditauladani serta menjadi orang yang berada di garda terdepan.
Rasulullah adalah imamnya para imam, khalifah adalah imamnya rakyat, dan al-Qur`an adalah imamnya kaum muslimin. Sesuatu yang dapat diikuti tidak hanya manusia, tapi juga kitab. Kalau manusia, maka yang dapat ditauladani ialah perkataan dan perbuatannya. Kalau kitab, maka yang dapat diikuti dan dipedomani adalah ide dan gagasan-gagasannya.
Khalifah, dilihat dari segi bahasa akar katanya terdiri dari tiga huruf yaitu kha`, lam dan fa. Kata khalifa yang berasal dari kata kerja khalafa berarti pengganti atau penerus. Dalam al-Qur’an (al-Baqarah:30; Shad:26) kata khalifah mengacu kepada pengertian ”penerima otoritas di atas bumi yang bersumber dari Tuhan”. Dengan demikian, pengertian istilah khalifah sebagaimana lazimnya dipergunakan adalah merupakan produk pengalaman umat setelah meninggalnya Nabi. Sebelum wafatnya, istilah khalifah belum ada.
Para ulama, memaknai kata khalifah menjadi tiga macam arti yaitu mengganti kedudukan, belakangan dan perubahan. Dalam al-Qur`an ditemukan dua bentuk kata kerja dengan makna yang berbeda. Bentuk kata kerja yang pertama ialah khalafa-yakhlifu dipergunakan untuk arti “mengganti”, dan bentuk kata kerja yang kedua ialah istakhlafa-yastakhlifu dipergunakan untuk arti “menjadikan”.
Pengertian mengganti dapat merujuk pada pergantian generasi ataupun pergantian jabatan kepemimpinan. Tetapi ada satu hal yang perlu dicermati bahwa konsep yang ada pada kata kerja khalafa disamping bermakna pergantian generasi dan pergantian kedudukan kepemimpinan, juga berkonotasi fungsional artinya seseorang yang diangkat sebagai pemimpin dan penguasa di muka bumi mengemban fungsi dan tugas-tugas tertentu.
Jamak dari kata khalifah ialah khalaif dan khulafa. Term ini dipergunakan untuk pembicaraan dalam kaitan dengan manusia pada umumnya dan orang mukmin pada khususnya. Sedangkan khulafa dipergunakan al-Qur`an dalam kaitan dengan pembicaraan yang tertuju kepada orang kafir.
Ulul al-Amr, istilah ini terdiri dari dua kata yaitu; Ulu artinya pemilik dan al-Amr artinya perintah atau urusan. Kalau kedua kata tersebut digabung, maka artinya ialah pemilik kekuasaan. Pemilik kekuasaan di sini bisa bermakna Imam dan Ahli al-Bait, bisa juga bermakna para penyeru ke jalan kebaikan dan pencegah ke jalan kemungkaran, bisa juga bermakna fuqaha dan ilmuan agama yang taat kepada Allah SWT.
Al-Malik, akar kata nya terdiri dari tiga huruf, yaitu mim, lam dan kaf, artinya ialah kuat dan sehat. Dari akar kata tersebut terbentuk kata kerja Malaka-Yamliku artinya kewenangan untuk memiliki sesuatu. Jadi term al-Malik bermakna seseorang yang mempunyai kewenangan untuk memerintahkan sesuatu dan melarang sesuatu dalam kaitan dengan sebuah pemerintahan. Tegasnya term al-Malik itu ialah nama bagi setiap orang yang memiliki kemampuan di bidang politik dan pemerintahan.

Dalil Kepemimpinan
Semua ulama dan fuqaha dari generasi ke generasi sepakat bahwa untuk menjalankan sebuah roda pemerintahan atau khilafah merupakan kewajiban agama yang sangat agung. Mereka menggunakan argumentasi fundamental dan esensial yang dinukilkan langsung dari nash sharih al-Qur’an, al-Hadits dan kaidah-kaidah ushul fiqh.
Dalil al-Qur’an yang membahas tentang imamah (kepemimpinan) dapat ditelusuri dan dikaji sebagaimana yang difirmankan Allah SWT, “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila mendapatkan hukum dan antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil,” (QS.An-Nisa:58).
Firman Allah SWT tersebut adalah perintah umum yang mencakup semua bentuk amanah. Agama adalah amanah dan syari’ah adalah amanah. Adapun hukum dan syari’ah adalah amanah. Dan seorang pemimpin yang melaksanakan syari’ah adalah amanah. Disinilah letak wajibnya memilih seorang khalifah atau pemimpin. Ibnu Jarir menegaskan bahwa asbabun nuzul (sebab-sebab turun ayat) QS. An-Nisaa:58 tersebut adalah berkenaan dengan perintah wullatul amr (pemimpin yang sah).
Iqbal dengan mengutip perkataan Ali bin Abi Thalib sebagaimana yang diriwayatkan oleh Mushab ibn Sa’ad, mengatakan “Hak atas seorang imam adalah menghukumi dengan apa yang diturunkan Allah SWT dan menyampaikan amanah. Apabila seorang imam telah melaksanakan semua itu, maka wajib bagi manusia untuk mendengarkan, mentaati dan menjawab panggilannya. Perkataan yang paling mulia menurutku, adalah orang yang mengatakan al-Qur’an adalah kitab Allah dan melaksanakan amanah yang dilimpahkan melalui wewenangnya secara adil dan bijaksana”.
Syaikhul Islam, Ibn Taymiyah berkata bahwa ayat tersebut merupakan kalam Allah yang sangat berharga dalam memberikan interpretasi tentang perlunya ketaatan dan kepatuhan terhadap pemerintahan sesuai dengan karakteristik negara Islam, sebagaimana yang difirmankan oleh Allah SWT dalam ayat selanjutnya dari QS.al-Nisa’, ”Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah SWT dan taatilah rasul-Nya dan ulil amr diantara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu maka kembalikanlah ia kepada Allah SWT (al-Qur’an) dan rasul (al-Hadits) jika kamu benar-benar beriman kepada Allah SWT dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik takwilnya ” (QS. Al-Nisa’:59).
Bila diteliti dan ditelaah secara seksama dan komprehensip terlihat bahwa kedua ayat tersebut mencakup rukun-rukun sebuah khilafah atau pemerintahan yang terdiri dari; pertama, para pemegang kekuasaan hukum ialah wullatul amr (pemerintahan yang sah) sesuai petunjuk syar’i dan menjalankan hukum-hukum syari’at. Kedua, al-Ummah (masyarakat) mempunyai kewajiban untuk tunduk dan taat pada ulil amr. Ketiga, peraturan, perundang-undangan dan disiplin hukum yang berlaku yaitu syari’at agama Islam.
Pembahasan tentang kepemimpinan yang bersumberkan pada dalil Hadits Nabi Muhammad SAW, cukuplah banyak diantaranya yang cukup populer adalah ”Setiap kamu adalah pemimpin dan setiap kamu bertanggungjawab atas kepemimpinannya, seorang imam adalah pemimpin dan ia bertanggungjawab atas kepemimpinannya. Seorang suami adalah pemimpin pada anggota keluarganya dan ia bertanggungjawab atas kepemimpinannya”. (HR. Buhori).
Tak kalah jelasnya adalah Hadits Nabi yang diriwayatkan oleh Muslim yang artinya, ”Barangsiapa melepaskan tangan dari mentaati (imamnya), ia akan menemui Allah pada hari kiamat tanpa punya pembela bagi dirinya. Barangsiapa mati sedangkan dirinya tidak ada bai’at (kepada imam) maka ia mati dalam keadaan Jahiliyah” (HR. Muslim).
Hadits yang kedua ini yang dijadikan rujukan dan pedoman bagi sebagian umat Islam yang mengikatkan diri dalam sebuah bai’at kepemimpinan. Sekalipun hal tersebut terkesan sangat dipaksakan dan mengada-ada yang berakibat pada penafian rasionalitas dan akal pikiran yang sehat. Pemahaman yang kurang tepat terhadap Hadits tersebut berakibat pada pengkultusan kepemimpinan yang berlebihan. Bahkan melebihi kepada Tuhan dan Nabi-nya. Padahal Nabi sendiri telah mengingatkan umatnya untuk tidak mengkultuskan pemimpin. Karena dihadapan Allah SWT semua sama yang membedakan hanyalah kadar keimaman dan ketaqwaannya.
Sekalipun demikian, tidak berarti umat Islam kurang peduli dan tidak perhatian terhadap masalah kepemimpinan. Semuanya diatur dan diukur secara adil dan bijaksana. Disepakati kalangan ulama’ dan fuqaha bahwa terdapat keharusan adanya seorang imam guna menyatukan suara umat dan mengurus kepentingan keduniaan maupun keagamaannya.
Kesadaran akan pentingnya masalah kepemimpinan, maka sepeninggal Rasulullah SAW, para sahabat menaruh perhatian besar untuk segera memilih dan mengangkat seorang imam. Abu Bakar akhirnya dipercaya untuk mengemban amanah berat tersebut yang kemudian dikenal dengan istilah khalifah. Umat Islam pun terhindar dari keretakan dan perpecahan.
Tidak dipungkiri mendalami ajaran Islam yang agung dan benar, memilih seorang pemimpin bukan tujuan final dari substansi agama, tetapi ia merupakan kelaziman zaman. Disadari bahwa kewajiban agama tidak mungkin diterapkan secara komprehensip dan simultan tanpa adanya pranata-pranata yang kongkrit.
Pranata-pranata tersebut dimungkinkan untuk melaksanakan kewajiban syari’at ilahiyah. Maka dalam sebuah kaidah fiqih dinyatakan, ”Mala yatimmu al-wajibu illa bihi fahuwa wajibun” (Jika kewajiban tidak bisa sempurna kecuali dengannya, maka ia hukumnya adalah wajib).
Kesempurnaan tegaknya nilai-nilai al-Qur’an dan al-Hadits dalam suatu masyarakat, bangsa dan negara hanya dapat diwujudkan dengan sesungguhnya bila didukung oleh pranata yang mengiringinya. Imam atau pemimpin adalah pranata yang mengiringi terwujudnya tegaknya nilai-nilai al-Qur’an dan al-Hadits, maka adalah wajib hukumnya bagi masyarakat muslim untuk memilih dan menetapkan seorang pemimpin.
Imam al-Mawardi dalam kitab al-Ahkam al-Sulthaniyah sebagaimana yang dikutip Iqbal mengatakan, ”Aqdul imamati liman yaqumu biha fi al-Ummati wajibun bil ijma’i” (mengangkat imam untuk mengurusi umat hukumnya adalah wajib menurut ijma’). Sehingga ia bisa mengurusi umat agar agama terjaga dengan wewenangnya dan berjalan sesuai dengan rule dan menurut sunnah-sunnah agama dan hukum-hukumnya.
Bagi seorang fuqaha sebagaimana Imam Ahmad ibn Hambal mengatakan, bila tidak adanya seorang pemimpin maka akan berakibat timbulnya suatu fitnah. Fitnah ini harus dicegah karena berakibat pada kehancuran dan kerusakan (fasad). Mencegah kehancuran dan kerusakan adalah kewajiban.
Mengangkat seorang imam atau pemimpin adalah wajib. Karena itu utamakan dan segerakan serta tak boleh ditunda-tunda. Perkataan beliau yang populer dalam hal ini adalah, ”al-Fitnatu idza lamyakun imamun yakumu bi amrinnasi” (Adalah fitnah apabila tidak ada imam yang berdiri mengurusi manusia).
Pemahaman yang bijak dan mulia tentang pentingnya sebuah kepemimpinan juga dikemukakan oleh generasi-generasi sesudahnya, Syeikhul Islam Ibn Taymiyah yang hidup pada abad pertengahan menyatakan bahwa membentuk pemerintahan dengan jalan religuitas dan mengangkat kepemimpinan sesuai dengan syari’ah adalah manhaj (jalan) merintis ketentraman untuk menjaga umat dan menjaga harta benda.

Prinsip Dasar Pemimpin
Impian dan harapan besar umat terhadap pemimpin, mengantarkan betapa penting dan berartinya peran seorang pemimpin dalam mendesain sebuah masyarakat, bangsa dan negara. Sejarah membuktikan, kejayaan dan keemasan sebuah bangsa sangat ditentukan oleh kualitas dan kapasitas para pemimpinnya.
Sebaliknya sebuah bangsa yang sebelumnya besar dan beradab hancur dan tak berarti karena kerakusan, keserakahan dan buruknya sikap mental para pemimpinnya. Suatu contoh, hancurnya Daulah Umayyah dan Daulah Abbasiyah, lebih disebabkan oleh karena penerus tahta mahkota kekhalifahan berada di tangan-tangan pemimpin yang lemah dan tak bermoral. Hubbuddunnya (cinta dunia) lebih kentara dan lebih lekat dibanding dengan hubbul-akhirah (cinta akhirat).
Islam memberikan dasar-dasar normatif dan filosofis tentang kepemimpinan yang bersifat komprehensip dan universal. Tidak hanya untuk umat Islam tapi juga untuk seluruh umat manusia. Prinsip-prinsip kepemimpinan dalam Islam adalah sebagai berikut; pertama, hikmah, ajaklah manusia ke jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan nasehat yang baik lagi bijaksana (QS. al-Nahl:125). Kedua, diskusi, jika ada perbedaan dan ketidaksamaan pandangan, maka seorang pemimpin menyelesaikan dengan diskusi dan bertukar pikiran (QS. al-Nahl:125).
Ketiga, qudwah, kepemimpinan menjadi efektif apabila dilakukan tidak hanya dengan nasihat tapi juga dengan ketauladanan yang baik dan bijaksana (QS. al-Ahdzab:21). Pepatah mengatakan, satu ketauladanan yang baik lebih utama dari seribu satu nasehat. Memang kesan dari sebuah keteladanan lebih melekat dan membekas dibanding hanya sekedar nasehat seorang pemimpin.
Keempat, musyawwarah, adalah suatu bentuk pelibatan seluruh komponen masyarakat secara proporsional dalam keikutsertaan dalam pengambilan sebuah keputusan atau kebijaksanaan (QS. Ali Imran:159, QS. As-Syura:38). Dengan musyawwarah, maka tidak ada suatu permasalahan yang tak dapat diselesaikan. Tentu dengan prinsip-prinsip bilhikmah wamauidhatil khasanah yang harus dipegang teguh oleh setiap komponen pemerintah atau imamah.
Kelima, adl, tidak memihak pada salah satu pihak. Pemimpin yang berdiri pada semua kelompok dan golongan, (QS.al-Nisa’:58&135, QS. al-Maidah:8) Dalam memimpin pegangannya hanya pada kebenaran, shirathal mustaqim (jalan yang lurus). Timbangan dan ukurannya bersumber pada al-Qur’an dan al-Hadits. Kecintaannya hanya karena Allah dan kebencian pun hanya karena Allah. Hukum menjadi kuat tidak hanya saat berhadapan dengan orang lemah, tapi juga menjadi kuat saat berhadap-hadapan dengan orang kuat.
Keenam, kelembutan hati dan saling mendoakan. Kesuksesan dan keberhasilan Rasulallah dan para sahabat dalam memimpin umat, lebih banyak didukung oleh faktor performa pribadi Rasul dan para sahabat yang lembut hatinya, halus perangainya dan santun perkataannya. Maka Allah SWT menempatkan Muhammad Rasulallah sebagai rujukan dalam pembinaan mental dan moral sebagaimana firmannya, ”Laqad kana lakum fi Rasulillahi uswatun hasanah” (Sungguh ada pada diri Rasul suri tauladan yang baik), (QS. al-Ahdzab:21 dan al-Qalam:10).
Ketujuh, dari prinsip dasar kepemimpinan Islami adalah kebebasan berfikir, kreativitas dan berijtihad. Sungguh amat luar biasa, sepeninggal Rasulallah para sahabat dapat menunjukkan diri sebagai sosok pemimpin yang mandiri, kuat, kreatif dan fleksibel.
Kelembutan pribadi Abu Bakar (khalifah ke-1) tak menjadikan dirinya menjadi sosok pemimpin yang lemah, malah sebaliknya ia menjadi pemimpin yang kuat dan tangguh. Tak gentar menghadapi musuh-musuh Islam. Ketegasan beliau dibuktikan dengan kesungguhan memerangi para pemberontak, nabi palsu dan kaum yang tak mau membayar zakat.
Kebalikannya ketegaran Khalifah Umar bin Khattab (khalifah ke-2) akhirnya menjadi sosok yang lembut, sederhana dan bersahaja. Sekalipun ia seorang khalifah dan menyandang gelar amirul mu’minin, tak menjadikan kehidupan diri dan keluarganya berubah drastis, bergelimang harta dan tahta atau menampilkan diri sebagai sosok pembesar yang suka ”petentang-petenteng” dan pamer kekuasaan.
Yang terjadi justru sebaliknya, Umar bin Khattab lebih menampakkan diri sebagai sosok yang low profil high produc. Tak salah kiranya bila banyak rakyatnya dan pejabat negara lain yang terkecoh dengan penampilan fisiknya dan tak mengira bahwa yang berdiri dihadapannya adalah seorang khalifah yang disegani dan dicintai rakyatnya.
Dua sosok pemimpin penerus Rasulallah yang berbeda karakter tersebut, disaat sama-sama diberi amanah untuk memimpin umat dan mengelola roda pemerintahan yang tampak adalah sosok pemimpin yang banyak dipengaruhi dan diwarnai oleh nilai-nilai al-Qur’an dan al-Hadits. Tidak sebagai pemimpin yang dipengaruhi dan dikuasai oleh karakter pribadi dan hawa nafsu.
Kedelapan, sinergis membangun kebersamaan. Mengoptimalkan sumber daya insani yang ada. Hebatnya Rasulullah salah satunya adalah kemampuan beliau dalam mensinergikan dan membangun kekuatan dan potensi yang dimiliki umatnya. Para sahabat dioptimalkan keberadaannya. Keberbedaan potensi yang dimiliki sahabat dan umat dikembangkan sedemikian rupa, sehingga menjadi pribadi-pribadi yang tangguh baik mental maupun spritualnya.
Berbagai misi kenegaraan dipercayakan Rasulallah kepada para sahabatnya seperti misi ke Habasyah, Yaman, Persia dan Rumawi. Muncullah sosok-sosok sahabat seperti Abu Dzar Al-Ghifari, Mu’adz bin Jabal, Salman al-Farisi dan Amr bin Ash. Dalam usia yang relatif muda, mereka sudah memimpin berbagai ekspedisi kenegaraan dan berbagai pertempuran penting.

Syarat Pemimpin
Prinsip dasar pemimpin tersebut sebagaimana yang digariskan dalam al-Qur’an dan Sunnah Nabi, dalam perkembangannya mengalami perluasan arti dan pemahaman. Bahkan tak jarang mengalami pembiasan yang jauh dari prinsip dasar yang sesungguhnya. Hal ini tak lepas dari ”hiruk pikuk” kepentingan politik dan kepentingan kelompok atau golongan.
Konsekuensi dari kondisi tersebut pada akhirnya berpengaruh pada penentuan syarat-syarat seorang pemimpin yang dirumuskan oleh para ulama dan fuqaha. Pendapat dan ijtihad mereka sangat tergantung dan ditentukan oleh situasi dan kondisi yang mengitarinya. Seperti pendapat para ulama dan fuqaha.
Al-Mawardi, tokoh utama dari kalangan Qadhi yang hidup pada abad pertengahan menyebutkan syarat utama bagi seorang pemimpin yaitu; (1) adil dalam arti yang luas, (2) punya ilmu untuk dapat melakukan ijtihad di dalam menghadapi persoalan-persoalan dan hukum, (3) sehat pendengaran, mata dan lisannya supaya dapat berurusan langsung dengan tanggungjawabnya, (4) sehat badan, sehingga tidak terhalang untuk melakukan gerak dan melangkah cepat, (5) pandai dalam mengendalikan urusan rakyat dan kemaslahatan umum, (6) berani dan tegas membela rakyat dan menghadapi musuh, dan (7) dari keturunan Quraisy.
Ibn Hisyam, ulama fiqih besar pada zamannya menyebut lima syarat yang harus ada pada diri seorang pemimpin. Syarat ini lebih sederhana dibandingkan dengan al-Mawardi, yaitu; (1) dari kalangan Qurasy, (2) baligh, merujuk pada sabda Nabi, ”Pena diangkat dari tiga golongan, anak-anak sampai dewasa, orang gila sampai sembuh, dan orang tidur sampai sadar”, (3) laki-laki, dasar yang digunakan adalah sabda Rasulullah, ”Tidak akan beruntung suatu kaum yang menyerahkan urusan mereka kepada seorang perempuan”, (4) muslim, karena Allah SWT berfirman ”Allah tidak akan memberikan jalan kepada orang kafir untuk (menguasai) kaum mukmin” (QS. An-Nisa’:141), dan (5) paling menonjol di dalam masyarakatnya, mengetahui hukum-hukum agama, secara keseluruhan taqwa kepada Allah SWT, dan tidak diketahui berbuat fasik.
Al-Ghazali, dalam beberapa bukunya secara ringkas juga membicarakan tentang syarat-syarat seorang pemimpin. Ia mengatakan, ”Tidaklah diragukan bahwa menentukan seseorang untuk dijadikan imam sekedar menuruti selera tidaklah boleh. Dia haruslah orang yang memiliki keistimewaan dibandingkan dengan seluruh orang yang ada”. Al-Ghazali kemudian menyebutkan syarat-syarat sebagai berikut; (1)merdeka, (2) laki-laki, (3) mujtahid, (4) berwawasan luas, (5) adil, (6) baligh, dan (7) tidak boleh wanita.
Ibn Khaldun, seorang kritikus yang tajam dan pembangun sosiologi juga mengetengahkan beberapa syarat yang harus dipenuhi oleh seorang yang menduduki jabatan sebagai seorang imam (pemimpin) yaitu; pertama, berilmu, karena ia menjadi pelaksana hukum Allah SWT. Ia harus mujtahid dan tidak bertaklid. Kedua, adil, pemimpin adalah jabatan tertinggi, selain menduduki dan meliputi jabatan keagamaan juga jabatan politik di tengah-tengah umat dan negara.
Ketiga, punya kemampuan, adalah keberanian untuk menegakkan hukum dan menghadapi musuh, ahli strategi dan pandai memobilisasi masyarakat, arif dan peka terhadap keadaan serta kuat di dalam mengendalikan politik, keempat, sehat badan seperti selamat dari buta, bisu, tuli dan pekak serta selamat dari cacat mental seperti gila dan hilang akal.
Disadari oleh Ibn Khaldun cacat fisik dan mental berpengaruh terhadap aktivitas fisik dan berpikir serta menjalankan tugas yang semestinya diemban. Sekiranya cacat sebagian saja, tetap mengurangi kesempurnaan sebagai seorang pemimpin yang tingkat mobilitasnya tinggi. Maka Ibn Khaldun tetap pada pendirinya yaitu memandang kurang memenuhi syarat bagi mereka yang mempunyai cacat fisik untuk menjadi seorang pemimpin.
Albaqilani, seorang ulama besar membahas secara panjang lebar tentang syarat yang harus dipenuhi oleh seorang imam, terdiri dari; (1) orang Qurasy asli, (2) memiliki ilmu yang tarafnya sama dengan seorang qadhi, 93) harus memiliki pengetahuan yang dalam mengenai urusan perang, (4) kemiliteran dan pasukan tempur, (5) mampu melindungi wilayah dan membela rakyat, dan (6) mampu melakukan pembalasan terhadap orang berlaku dhalim dan membela orang teraniaya dengan segala kepentingan yang menyangkut urusan umat.
Selain itu, seorang pemimpin tidak lemah hati, tidak gampang iba dalam penegakan hukum dan tidak pula bersikap lemah mengambil tindakan terhadap pelanggar hukum. Ia harus menjadi contoh dalam keilmuan dan masalah-masalah lain yang memberikan nilai lebih padanya.
Berdasar pada pendapat-pendapat para ulama dan fuqaha tentang syarat seorang imam sebagaimana dipaparkan diatas, bila dikaji lebih mendalam menunjukkan bahwa persyaratan-persyaratan tersebut sangat ditentukan oleh situasi dan kondisi politik dimana para ulama dan fuqaha berada. Dan juga sejauhmana kedekatan ulama dan penguasa pada saat itu. Sehingga fatwa yang disampaikan sangat diwarnai oleh kondisi politik yang mengitarinya.
Suatu contoh persyaratan fisik yang cukup ketat yang dikemukakan oleh Ibn Khaldun, tak lepas dari kemajuan dan tingginya mobilitas yang dilakukan pemimpin pada saat itu sebagai cermin dari masyarakat yang maju. Demikian pula persyaratan tentang orang Qurasy, yang dikemukakan oleh Ibn Hisyam, al-Baqilani dan al-Mawardi tak lepas dari keberadaan mereka di Jazirah Arabia khususnya dan Timur Tengah pada umumnya. Sehingga fatwa-fatwa yang mereka sampaikan sangat kontekstual.
Namun demikian bila ditarik batas merah pemikiran mereka, sesungguhnya ada kesamaan diantara para ulama dan fuqaha. Kesamaan itu lebih bersifat mayor dari pada minor, yaitu;
Pertama, persyaratan yang bersifat fisik. Artinya, pemimpin harus memiliki fisik yang prima, sehat, dan kuat. Sebagai ikhtiar untuk mendukung tugas dan tanggungjawabnya. Sehingga mobilitasnya berjalan dengan normal, lancar dan tidak terganggu oleh fisik.
Kedua, persyaratan yang bersifat mental dan spritual. Seorang pemimpin dituntut untuk memiliki kualitas mental pribadi yang teruji seperti jujur, adil dan terpercaya. Ia sosok orang yang beriman dan bertaqwa. Kualitas pengamalan agamanya tidak diragukan, dekat dengan Tuhannya dan dekat pula dengan sesamanya. Hablum minallah dan hablum minannas sama-sama terjaga dengan baik..
Ketiga, persyaratan yang bersifat keahlian dan kemampuan. Maksudnya seorang pemimpin itu harus berilmu, berwawasan luas, cerdas, kompeten, profesional dan bertanggungjawab.

Kepemimpinan Nabi dan Rasul
Kepemimpinan yang sempurna itu hanyalah ada pada diri Nabi dan Rasul. Karena mereka adalah hamba pilihan Allah SWT. Adalah wajar bila umat menjadikan para Nabi dan Rasul itu sebagai rujukan dan tauladan dalam kepemimpinan. Salah satu caranya dengan menghidupkan kembali nilai-nilai universal kepemimpinan para Nabi dan Rasul. Nilai-nilai universal tersebut kita tampilkan dalam perspektif kepemimpinan mutakhir saat ini.
Diantara Nabi dan Rasul yang teristimewa dihadapan Tuhannya adalah Muhammad Rasulallah. Oleh sebab itu, adalah hal yang seharusnya bagi umat Islam untuk menjadikan figur Muhammad SAW sebagai suri tauladan yang baik. Termasuk dalam hal kepemimpinan.
Allah SWT menyatakan, ”Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulallah itu suri tauladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah” (QS. Al-Ahdzab:21).
Pada Surat yang lain Allah juga mengatakan bahwa, ”Sesungguhnya engkau (Ya Muhammad) mempunyai budi pekerti yang amat tinggi (mulia)” (QS. Al-Qalam:4). Kemudian dipertegas lagi oleh Allah dalam firman-Nya, ”Dan apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah” (QS. Al-Hasyr:7).
Berdasar tiga Surat tersebut, menjadi jelas bagi kita bahwa Muhammad Rasulullah adalah hamba Allah yang diutus dan dipilih untuk dijadikan model atau untuk dijadikan tauladan dalam semua aspek kehidupan bagi umat sesudahnya. Termasuk salah satunya dalam hal kepemimpinan. Ada empat model kepemimpinan yang melekat pada diri Nabi Muhammad SAW., yaitu :
Siddiq, secara etimologis berarti benar, jujur, apa adanya, dan tidak menyembunyikan sesuatu. Ia merupakan lawan kata dari dusta. Dalam konteks yang berbeda, siddiq juga diartikan sebagai suatu yang haq. Siddiq terbagi dalam tiga kategori; (1) siddiq dalam perkataan, (2) siddiq dalam sikap, dan (3) siddiq dalam perbuatan.
Dalam kehidupannya para Nabi dan Rasul senantiasa menjunjung tinggi nilai-nilai kebenaran dan kejujuran. Terhindar dari perkataan, sikap dan perbuatan tidak terpuji, seperti berbohong dan berdusta. Sebagai pemimpin spritual, disamping juga kepala negara dan public figure, Nabi Muhammad SAW semenjak kecil sudah memposisikan diri dengan sikap dan prilaku yang siddiq. Disamping atas kehendak Allah, juga karena kepribadiannya yang mulia lagi agung. Sehingga oleh masyarakat Qurasy diberi gelar al-Amin (terpercaya).
Amanah, secara etimologis berarti kejujuran, kepercayaan, titipan dan terkadang diartikan juga dengan keadaan aman. Amanah dibagi dua; amanah dari Allah kepada manusia dan amanah manusia kepada manusia (QS. Al-Ahdzab:72). Amanah yang pertama berupa kemampuan berlaku adil dan tugas-tugas keagamaan, sedangkan amanah bentuk kedua adalah mewakilkan kepada orang lain untuk memelihara hak-haknya.
Taba’ taba’iy dalam kitab tafsirnya al-Mizan mengartikan amanah sesuatu yang dipercayakan Allah kepada manusia untuk memeliharanya demi kemaslahatan, kemudian amanat itu dikembalikan pada Allah sebagaimana yang dikehendakinya.
Bagi Rasulullah kepemimpinan adalah amanah yang pertanggungjawabannya tidak hanya kepada sesamanya namun juga kepada Allah SWT. Sebagai seorang pemimpin agama, pemimpin negara dan pemimpin umat, Muhammad Rasulallah telah menunjukkan kapasitas pribadinya yang amanah.
Tabligh, menurut bahasa artinya menyampaikan, mengutarakan, memberi atau mengeluarkan sesuatu kepada orang lain. Diperluas lagi juga dapat diartikan sebagai suatu ajakan atau dakwah. Karena tugas Nabi dan Rasul adalah menyampaikan risalah dan firman Allah kepada umat manusia.
Risalah yang disampaikan kepada kaumnya dan atau untuk universalitas umat manusia berisi tentang perintah dan larangan. Tak berhak baginya menambah atau mengurangi. Allah memerintahkan padanya untuk menegakkan yang makruf dan mencegah yang mungkar serta berlaku bijaksana dalam kedua urusan tersebut, (QS. Ali Imran: 110 dan QS. Al-Nahl:90).
Kepemimpinan erat kaitannya dengan tugas dan tanggungjawab untuk menyampaikan sesuatu kepada umat yang dipimpinnya. Hukum dan aturan yang dibuat Allah dan diperuntukkan pada umat manusia adalah tugas mulia yang harus disampaikan para Nabi dan Rasul kepada kaumnya agar terwujud suatu tatanan kehidupan yang bahagia di dunia dan bahagia di akhirat. Disamping memang karena kehendak Allah, para Nabi dan Rasul tersebut telah menjalankan tugas dengan seindah-indahnya dan sebaik-baiknya.
Fathanah, artinya cerdik, pandai, cerdas, pintar dan masih banyak arti lain yang semisal. Cerdik digunakan untuk membangun dan merancang sebuah strategi atau siasat. Pandai digunakan untuk menyelesaikan suatu masalah. Cerdas berguna untuk percepatan penyelesaian sebuah problem, sedangkan pintar digunakan untuk mecari berbagai macam alternatif penyelesaian terbaik.
Sebagai hamba pilihan, para Nabi dan Rasul oleh Allah SWT dianugerahi tingkat kecerdasan dan kepandaian yang melebihi dari kecerdasan dan kepandaian hamba-Nya yang lain. Kecerdikan dan kepandaian tersebut dipergunakan untuk merancang cita-cita luhur umat manusia yaitu; fiddunya hasanah wafil akhirati hasanah (bahagia di dunia dan bahagia pula di akhirat).
Keempat model kepemimpinan para Nabi dan Rasul sebagaimana yang dikemukakan di atas; siddiq, amanah, tabligh dan fathanah adalah sebuah sifat dan karakter terbaik untuk dijadikan tauladan dalam mengembangkan potensi kepemimpinan individu maupun kelompok.
Nilai-nilai yang terkandung dalam sifat siddiq, amanah, tabligh dan fathanah memiliki kekuatan yang dahsyat dan luar biasa. Keempatnya adalah satu kesatuan yang sinergis dan saling melengkapi. Variabel dari sifat-sifat tersebut sudah teruji kesuksesan dan keberhasilannya. Sebagaimana sukses dan berhasilnya para Nabi dan Rasul.
Karakter kepemimpinan sebagaimana yang ada pada Nabi dan Rasul sudah terbukti keberhasilannya. Tugas kita sekarang hanya tinggal mengembangkan karakter kepemimpinan tersebut agar lebih adpatif dan up to date dengan perkembangan zaman dan waktu.




Penutup
Kepemimpinan dalam Islam menempati posisi yang sangat strategis. Karena kepemimpinan adalah sebuah instrumen untuk mencapai cita-cita luhur sebuah bangsa dan negara. Yaitu terwujudnya suatu bangsa yang ”baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur” (bangsa yang baik, sejahtera dan dibawah lindungan Allah SWT). Oleh sebab itu, Islam menaruh perhatian yang cukup besar terhadap masalah kepemimpinan.
Kajian kepemimpinan dalam Islam, term yang digunakan adalah kata khalifah, imam, ulil amr dan al-mulk. Pengertian dari masing-masing term merujuk pada sebuah kemampuan seseorang untuk memposisikan diri sebagai leader (pemimpin) dan leadership (kepemimpinan).
Besar dan beratnya tugas yang diemban seorang pemimpin, maka dipersyaratkan padanya sebuah persyaratan yang kompleks dan komprehensip, meliputi tiga persyaratan utama yaitu; (1) persyaratan fisik, (2) persyaratan mental-spritual, dan (3) persyaratan keahlian dan kemampuan.
Karakter kepemimpinan yang telah menunjukkan kesuksesan dan keberhasilan dan ini yang perlu dijadikan tauladan adalah karakter kepemimpinan para Nabi dan Rasul yaitu ; siddiq, amanah, fathanah dan tabligh. Empat karakter kepemimpinan ini yang perlu dikembangkan seiring dengan perkembangan zaman dan waktu.













Daftar Pustaka


Agustian, Ary G. Rahasia Sukses Membangun Kecerdasan Emosional dan Spritual. Jakarta: Arga. 2006.

Amahzun, Muhammad. Manhaj Dakwah Rasulallah SAW. Jakarta: Qisthi Press. 2004.

Depag RI. Akhlak–Tauhid. Jakarta: Ditjen Bimbaga Islam. 1983.

Hamka, Buya. Doktrin Islam yang Menimbulkan Kemerdekaan dan Keberanian. Jakarta: Yayasan Idayu. 1983.

Hanafi. Pengantar Theology Islam. Jakarta: Pustaka al-Husna. 1987.

Iqbal M & Ali Fattah. Negara Ideal Menurut Islam, Kajian Teori Khilafah dalam Sistem Pemerintahan Modern. Jakarta: Ladang Pustaka & Intimedia. 2002.

Reynolds, Joe. Kepemimpinan Garis Terdepan, Menemukan, Mengembangkan dan Menjalankan Potensi Anda. Yogyakarta: Aditya Media. 1996.

Musa, Yusuf M. Politik dan Negara dalam Islam. Surabaya: Al-Ikhlas. 1990.

Nasution dkk. Ensiklopedi Islam Indonesia. Jakarta: Djambatan. 2002.

Wibowo dkk. SHOOT, Sharpening Our Concept and Tools. Bandung: PT Syaamil Cipta Media. 2002.

Wahyudi, Nafiri Imam. Sistematika Ajaran Islam. Malang: Universitas Brawijaya. 1997.
A. Latar Belakang Masalah

Dalam suatu negara, aturan hukum merupakan suatu hal yang sangat subtansial dalam menentukan aturan berbangsa dan bernegara. Negara hukum merupakan suatu negara yang berdiri diatas hukum yang menjamin keadilan kepada warga negaranya. Keadilan merupakan syarat bagi tercapainya kebahagiaan hidup untuk warga negaranya, dan sebagai dasar dari pada keadilan itu perlu diajarkan rasa susila kepada setiap manusia agar ia menjadi warga negara yang baik. Demikian pula peraturan hukum yang sebenarnya hanya ada jika peraturan hukum itu mencerminkan keadilan bagi pergaulan hidup antar warganya.
Bagi Aristoteles yang memerintah dalam negara bukanlah manusia sebenarnya, melainkan pikiran yang adil, sedangkan penguasa sebenarnya hanya pemegang hukum dan keseimbangan saja. Kesusilaan yang akan menentukan baik atau tidaknya suatu peraturan perundang-undangan dan membuat undang-undang adalah sebagian dari kecakapan menjalankan pemerintahan negara. Oleh karena itu kata Aristoteles , bahwa yang penting adalah mendidik manusia menjadi warga negara yang baik, karena dari sikapnya yang adil akan terjamin kebahagiaan hidup warga negaranya. Ajaran Aristoteles ini sampai sekarang masih menjadi idam-idaman bagi para negarawan untuk menciptakan suatu negara hukum.
Penerapan konsep negara hukum di Indonesia meskipun dalam penjelasan UUD 1945 digunakan istilah rechtsstaat, namun konsep rechtsstaat yang dianut oleh negara Indonesia bukan konsep negara hukum Barat (Eropa Kontinental) dan bukan pula konsep rule of law dari Anglo-Saxon. Hal ini tergambar dalam sistem hukum yang berkembang di Indonesia yang lebih bersifat elastis.

B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan masalah pokok di atas, maka yang menjadi identifikasi masalah dalam penulisan ini adalah bagaimana konsep negara hukum Indonesia dan bagaimana persamaan dan perbedaannya jika dibandingkan dengan konsep negara hukum lainnya.

C. Konsep Negara Hukum Pancasila
Negara Indonesia ialah negara yang berdasarkan atas hukum (rechtsstaat) dan negara Indonesia berdasarkan atas hukum (rechtsstaat), tidak berdasar atas kekuasaan belaka (machtsstaat). Karena digunakan istilah rechtsstaat, maka timbul pertanyaan rechtsstaat atau negara hukum yang bagaimanakah yang dianut oleh Indonesia? Apakah rechtsstaat disini identik dengan konsep negara hukum Eropa Kontinental atau tidak ? Dengan kata lain, apakah rechtsstaat dalam penjelasan UUD 1945 itu merupakan suatu genus begrip sehingga dengan demikian dalam kaitan dengan UUD 1945 adakah suatu pengertian khusus dari istilah rechtsstaat sebagai genus begrip itu ? Diskusi tentang rechtsstaat tersebut sudah sering dilakukan, bahkan ada kecenderungan interpretasi yang mengarah kepada konsep rule of law.
Untuk memperoleh suatu kesimpulan yang tepat tentang permasalahan tersebut di atas dalam tulisan ini diamati dan dilakukan telaah terhadap pemikiran-pemikiran dari dua orang pakar hukum Indonesia yang terkenal yaitu Oemar Senoadji dan Padmo Wahyono. Meraka sangat berjasa dengan pemikiran-pemikiran yang merupakan elaborasi dari segi ilmu hukum tentang negara hukum yang bagaimana dan predikat negara hukum apa yang tepat dalam konteks Republik Indonesia (Pancasila dan UUD 1945)?
Oemar Sanoadji berpendapat bahwa negara hukum Indonesia memiliki ciri-ciri khas Indonesia. Karena Pancasila harus diangkat sebagai dasar pokok dan sumber hukum, maka negara hukum Indonesia dapat pula dinamakan negara hukum Pancasila.
Salah satu ciri pokok dalam negara hukum Pancasila ialah adanya jaminan terhadap freedom of religion atau kebebasan beragama. Tetapi, kebebasan beragama dinegara hukum Pancasila selalu dalam konotasi yang positif, artinya tiada tempat bagi ateisme atau propaganda anti agama di bumi Indonesia. Hal ini sangat berbeda dengan misalnya di Amerika Serikat yang memahami konsep freedom of religion baik dalam arti positif maupun dalam arti negatif, sebagaimana dirumuskan oleh Sir Alfred Denning – yang dikutip Senoadji sebagai berikut :
“Freedom of religion means that we are free to worship or not to worship, to affirm the existence of God or to deny it, to believe in Christian religion or in none, as wewenang choose”.
Sedang di Uni Soviet dan negara-negara komunis lainnya “ freedom of religion” memberikan pula jaminan konstitusional terhadap propaganda anti agama. Ciri berikutnya dari negara hukum Indonesia menurut Senoadji ialah tiada pemisahan yang regid dan mutlak antara agama dan negara. Karena menurut Senoadji agama dan negara berada dalam hubungan yang harmonis. Keadaan ini berbeda dengan misalnya di Amerika Serikat yang mengad\nut doktrin pemisahan agama dan gereja secara ketat, sebagaimana dicerminkan oleh kasus Regents Prayer, karena berpegang pada wall of separation, maka doa dan praktek keagamaan di sekolah-sekolah dipandang sebagai suatu inkonstitusional. Senoadji menilai bahwa perkara tersebut sebagai sesuatu pencemaran terhadap ajaran Thomas Jefferson dan Madison.
Berbeda dengan pandangan Oemar Senoadji tentang hubungan agama dan negara di Indonesia, menurut beliau tidak menunjukkan suatu pemisahan yang rigid dan mutlak, penulis memahami bahwa dalam negara hukum Pancasila tidak boleh terjadi pemisahan antara agama dan negara baik secara mutlak maupun secara nisbi. Karena hal itu akan bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945.
Padmo Wahyono menelaah Negara Hukum Pancasila dengan bertitik pangkal dari asas kekeluargaan yang tercantum dalam UUD 1945. Dalam asas kekeluargaan maka yang diutamakan adalah “rakyat banyak, namun harkat dan martabat manusia tetap dihargai”. Pasal 33 UUD 1945 mencerminkan secara khas asas kekeluargaan ini. Dalam pasal ini ada suatu penjelasan bahwa yang penting ialah kemakmuran masyarakat dan bukan kemakmuran orang seorang, namun orang seorang berusaha sejauh tidak mengenai hajat hidup orang banyak. Maka konsep negara hukum Pancasila harus dilihat dari sudut asas kekeluargaan itu.
Untuk dapat memahami bagaimana konsep negara hukum Pancasila perlu ditelaah bagaimana pengertian negara dan pengertian hukum dilihat dari asas kekeluargaan itu. Padmo Wahyono memahami hukum adalah suatu alat atau wahana untuk menyelenggarakan kehidupan negara atau ketertiban, dan menyelenggarakan kesejahteraan sosial. Pengertian ini tercermin dari rumusan penjelasan UUD 1945 yang berbunyi :
“Undang-undang Dasar hanya memuat aturan-aturan pokok, hanya memuat garis-garis besar sebagai instruksi kepada pemerintah pusatr dan lain-lain penyelenggaraan negara untuk menyelenggarakan kehidupan negara, kesejahteraan sosial.”
Dengan mengganti perkataan undang-undang dasar dengan istilah hukum sebagai genus begrib, maka ditemukanlah rumusan hukum sebagaimana telah disebutkan di atas. Dengan demikian, hukum adalah wahana untuk mencapai keadaan yang “tata tentram kerta raharja” dan bukan hanya sekedar untuk kamtibnas (rust en orde) saja. Kecuali itu, Padmo menjelaskan juga bahwa dalam UUD 1945 terdapat suatu penjelasan bahwa bangsa indonesia juga mengakui kehadiran atau eksistensi hukum tidak tertulis selain hukum yang tertulis.
Sehubungan dengan fungsi hukum, Padmo menegaskan ada tiga fungsi huikum dilihat dari “cara pandang berdasarkan asas kekeluargaan” yaitu :
1. Menegakkan demokrasi sesuai dengan rumusan tujuh pokok sistem pemerintahan negara dalam penjelasan UUD 1945.
2. Mewujudkan keadilan sosial sesuai dengan pasal 33 UUD 1945 dan
3. Menegakkan perikemanusiaan yang didasarkan kepada Ketuhanan Yang Maha Esa dan dilaksanakan secara adil dan beradab.
Padmo Wahyono menamakan fungsi hukum Indonesia adalah sebagai suatu pengayoman, karena itu berbeda dengan cara pandang liberal yang melambangkan Hukum sebagai Dewi Yustitia yang memegang pedang dan timbangan dengan mata tertutup, sehingga memperlihatkan suatu citra bahwa keadilan yang tertinggi ialah suatu ketidakadilan yang paling besar. Hukum di Indonesia dilambangkan oleh “pohon pengayoman”.
Hal lain yang sangat menarik perhatian penulis adalah pandangan Padmo Wahyono tentang asal usul negara Indonesia. Berbeda dengan cara pandangan liberal yang melihat negara sebagai suatu status (state) tertentu yang dihasilkan oleh suatu perjanjian bermasyarakat dari individu-individu yang bebas atau dari status “naturalis” ke status “civil” dengan perlindungan terhadap civil rights, maka dalam negara hukum Pancasila ada suatu anggapan bahwa manusia dilahirkan dalam hubungannya atau keberadabannya dengan Tuhan. Karena itu, negara tidak terbentuk karena suatu perjanjian atau “vertrag yang dualistik “ melainkan “atas berkat Rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorong oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas”. Padmo Wahyono menegaskan bahwa konstruksi yang didasarkan atas asas kekeluargaan itu bukan suatu vertrag melainkan suatu kesepakatan suatu tujuan (Gesamtakt). Dengan petunjuk-petunjuk ini, maka Padmotiba pada suatu rumusan negara menurut Bangsa Indonesia sebagai berikut :
Suatu kehidupan berkelompok Bangsa Indonesia, atas berkat Rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan didorong oleh keinginan luhur supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas dalam arti merdeka, berdaulat, bersatu, adil dan makmur.
Rumusan ini apabila dibandingkan dengan nomokrasi Islam, mengandung dua dimensi yang sama, yaitu hubungan manusia dengan Allah dan hubungan manusia dengan manusia. Karena itu penulis sangat sependapat dengan rumusan tersebut.
Pandangan kedua pakar hukum di atas, penulis memperoleh suatu kesimpulan bahwa meskipun dalam penjelasan UUD 1945 digunakan istilah rechtsstaat, namun konsep rechtsstaat yang dianut oleh negara Indonesia bukan konsep negara hukum Barat (Eropa Kontinental) dan bukan pula konsep rule of law dari Anglo-Saxon, melainkan konsep negara hukum Pancasila sendiri dengan ciri-ciri :
1. Ada hubungan yang erat antara agama dan negara
2. Bertumpu pada ketuhanan Yang Maha Esa
3. Kebebasan beragama dalam arti positif
4. Ateisme tidak dibenarkan dan komunisme dilarang
5. Asas kekeluargaan dan kerukunan.
Adapun unsur pokok negera hukum Indonesia adalah :
1. Pancasila
2. MPR
3. Sistem konstitusi
4. Persamaan
5. Peradilan bebas
Hal lain yang perlu penulis simpulkan di sini adalah bahwa istilah rechtsstaat dalam penjelasan UUD 1945 jelas merupakan suatu genus begrip yang dapat diterjemahkan dengan istilah negara hukum dalam bahasa Indonesia. Karena itu, maka istilah negara hukum Pancasila adalah merupakan pengertian khusus, sebagaimana yang dimaksudkan (secara implisit) oleh penjelasan Undang-Undang Dasar 1945.

D. Konsep Barat Tentang Negara Hukum
Pemikiran tentang negara hukum di Barat dimulai sejak Plato dengan konsepnya bahwa penyelenggaraan negara yang baik ialah yang didasarkan pada pengaturan (hukum) yang baik yang disebutnya dengan istilah Nomoi. Kemudian ide tentang negara hukum atau rechtsstaat mulai populer kembali pada abad ke 17 sebagai akibat dari situasi sosial politik di Eropa yang didominir oleh absolutisme. Golongan yang pandai dan kaya atau “Menschen von Besitz und Bildung” ditindas oleh kaum bangsawan dan gereja yang menumbuhkan konsep etatisme (l’etat cets moi) menginginkan suatu perombakan struktur sosial politik yang tidak menguntungkan itu, karena itu mereka mendambakan suatu negara hukum yang liberal agar setiap orang dapat dengan aman dan bebas mencari penghidupan dan kehidupan masing-masing.
Dua orang sarjana Barat yang berjasa dalam pemikiran negara hukum yaitu Imanuel Kant dan Friedrich Julius Stahl telah mengemukakan buah pikiran mereka. Kant memahami negara hukum sebagai Nachtwaker staat atau Nachtwachterstaat (negara jaga malam) yang tugasnya adalah menjamin ketertiban dan keamanan masyarakat. Gagasan negara hukum konsep Kant ini dinamakan dengan hukum liberal.
Konsep Stahl tentang negara hukum ditandai dengan empat unsur pokok yaitu :
1. Pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia
2. Negara berdasarkan kepada teori trias politica
3. Pemerintah diselenggarakan berdasarkan undang-undang (wetmatig bertuur)
4. Ada peradilan administrasi negara yang bertugas menangani kasus perbuatan melanggar hukum oleh pemerintah (onrechtmatige overheidsdaad).
Gagasan negara hukum yang berasal dari Stahl ini dinamakan negara hukum formil, karena lebih menekankan kepada suatu pemerintahan yang berdasarkan undang-undang.
Padmo Wahyono mencatat bahwa dalam perkembangannya pemerintahan yang berdasarkan undang-undang dianggap “lamban” dan karena itu diganti dengan pemerintahan berdasarkan hukum dan prinsip rechtmatig bestuur. Maka dengan demikian, negara hukum yang formil menjadi negara hukum yang materiil dengan ciri rechtmatig bestuur. Kemudian lahirlah konsep-konsep yang merupakan variant dari rechtsstaat itu, antara welvaarsstaat dan vergorgingsstaat sebagai negara kemakmuran.
Menurut Scheltema, unsur-unsur rechtsstaat adalah : (1) kepastian hukum, (2) persamaan, (3) demokrasi; dan (4) pemerintah yang melayani kepentingan umum.
Karena konsep rechtsstaat di Eropa kontinental sejak semula didasarkan pada filsafat leberal yang individualistik, maka ciri individualistik itu sangat menonjol dalam pemikiran negara hukum menurut konsep Eropa kontinental itu.
Di negara-negara Anglo-Saxon berkembang pula suatu konsep negara hukum yang semula dipelopori oleh A.V. Dicey (dari Inggris) dengan sebutan Rule of Law. Konsep ini menekankan pada tiga tolak ukur atau unsur utama yaitu (1) Supremasi hukum atau supremacy of law; (2) persamaan dihadapan hukum atau equality before the law; dan (3) konstitusi yang didasarkan atas hak-hak perorangan atau the contitution based on individual rights.
Perbedaan yang menonjol antara konsep rechtsstaat dan rule of law ialah pada konsep yang pertama peradilan administrasi negara merupakan suatu sarana yang sangat penting dan sekaligus pula ciri yang menonjol pada rechtsstaat itu sendiri. Sebaliknya pada rule of law, peradilan administrasi tidak diterapkan, karena kepercayaan masyarakat yang demikian besar kepada peradilan umum. Ciri yang menonjol pada konsep rule of law ialah ditegakkannya hukum yang adil dan tepat (just law). Karena semua orang mempunyai kedudukan yang sama dihadapan hukum, maka ordinary court dianggap cukup untuk mengadili semua perkara termasuk perbuatan melanggar hukum oleh pemerintah.

F. Perbandingan Konsep-Konsep Negara Hukum
Dalam konsep negara hukum atau nomokrasi Islam atau siyasah diniyah memiliki ciri yang berbeda dengan konsep negara hukum yang dikemukakan oleh Barat atau (Eropa Kontinental), rechtsstaat, rule of law dan socialist legality serta dengan negara hukum Pancasila. Perbedaan itu tampak dari ciri dan unsur-unsur utama dari negara hukum itu sendiri. Demikian juga konsep Rechtsstaat yang dikemukakan Barat atau Eropa Kontinental dan rule of law serta socialist legality yang saling memiliki perbedaan dan konsep tentang negara hukum. Namun demikian untuk lebih jelas dapat dilihat pada tabel berikut ini.

Tabel 1

Konsep Negara Hukum Pancasila

Konsep Ciri-ciri Unsur-unsur utama
Negara Hukum Pancasila Hubungan yang erat antara agama dan negara – betumpu pada Ketuhanan Yang Maha Esa – kebebasan beragama dalam arti positif – ateisme tidak dibenarkan dan komunisme dilarang – asas kekeluargaan dan kerukunan.
(1) Pancasila
(2) MPR
(3) Sistem konstitusi
(4) Persamaan dan
(5) Peradilan bebas

Tabel 2
Konsep Rechtsstaat

Konsep Ciri-ciri Unsur-unsur utama
Rechtsstaat Bersumber dari rasio manusia – liberalistik/ individualistik – humanisme yang antroposentris (lebih dipusatkan pada manusia) – pemisahan antara agama dan negara secara mutlak – ateisme dimungkinkan. Menurut Stahl:
1. Pengakuan & perlindungan hak-hak asasi manusia
2. Trias politica
3. Wetmatig bertuur
4. Peradilan administrasi

Menurut Scheltema
(1) kepastian hukum,
(2) persamaan,
(3) demokrasi; dan
(4) pemerintah yang melayani kepentingan umum


Tabel 3
Nomokrasi Islam

Konsep Ciri-ciri Unsur-unsur utama
Nomokrasi Islam Bersumber dari al-qur’an, sunnah dan ra’yu nomokrasi - bukan teokrasi- persaudaraan dan humanisme teosentris kebebasan dalam arti positif. Sembilan prinsip :
(1) Kekuasaan sebagai amanah
(2) Musyawarah
(3) Keadilan
(4) Persamaan
(5) Pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia
(6) Peradilan bebas
(7) Perdamaian
(8) Kesejahteraan dan
(9) Ketaatan rakyat


Tabel 4
Konsep Rule of Law

Konsep Ciri-ciri Unsur-unsur utama
Rule of Law Bersumber dari rasio manusia – liberalistik/ individualistik –antroposentris (lebih dipusatkan pada manusia) – pemisahan antara agama dan negara secara rigid (mutlak) – freedom of religion dalam arti positif dan negatif – ateisme dimungkinkan.
(1) supremasi hukum
(2) equality before the law
(3) individual rights.
Tidak memerlukan peradilan administrasi negara, karena peradilan umum dianggap berlaku untuk semua orang, baik warga biasa maupun pejabat pemerintah. Kalau rechtsstaat menekankan pada peradilan administrasi, maka rule of law menekankan pada equality before the law (unsur ke-2)

Tabel 5

Konsep Socialist Legality

Konsep Ciri-ciri Unsur-unsur utama
Socialist legality Bersumber dari rasio manusia-komunis-ateis-totaliter-kebebasan beragama yang semu dan kebebasan propaganda anti agama.
(1) Perwujudan sosialisme
(2) Hukum adalah alat di bawah sosialisme
(3) Penekanan pada sosialisme. Realisasi sosialisme ketimbang hak-hak perorangan.
A. Pendahuluan

Produk hukum biasanya dilahirkan oleh suatu kebijakan politik atau penguasa, sehingga kepentingan elit politik atau penguasa lebih dominan dalam hukum tersebut. Sehingga dapat diasumsikan bahwa hukum merupakan produk politik yang memandang hukum sebagai formalisasi atau kristalisasi dari kehendak-kehendak politik yang saling berinteraksi dan saling bersaing.
Pandangan di atas sebenarnya lumrah terjadi di berbagai belahan dunia, karena memang apapun yang dibuat oleh manusia tidak akan dapat terlepas dari kepentingan atau kebutuhan pembuat hukum atau masyarakat ketika itu.
Dapat juga dikemukakan bahwa kualifikasi tentang konfigurasi politik dan karakter produk hukum tidak bisa diidentifikasi secara mutlak, sebab dalam kenyataannya tidak ada satu negarapun yang sepenuhnya demokratis atau sepenuhnya otoriter. Begitu juga tidak ada satu negarapun yang memproduk hukumnya dengan karakter yang mutlak responsive atau mutlak konservatif.
Kenyataan ini terlihat dari perkembangan produk hukum dibidang partai politik di Indonesia, di mana pada masa awalnya Indonesia menganut multi partai, tapi akhirnya multi partai dianggap hanya menimbulkan masalah dan tidak perlu dikembangkan. Dalam perkembangan selanjutnya di Indonesia hanya menganut tiga partai dan terakhir berkembang kembali menjadi multi partai. Hal ini tentunya terjadi pergeseran politik di wilayah Indonesia.
Makalah ini akan mencoba mengupas bagaimana pengaruh konfigurasi politik terhadap produk hukum di bidang kepartaian.

B. Perumusan Masaalah
1. Bagaimana Konfigurasi politik terhadap produk hukum di dibidang kepartaian masa orde lama
2. Bagaimana Konfigurasi politik terhadap produk hukum di dibidang kepartaian masa orde baru
3. Bagaimana Konfigurasi politik terhadap produk hukum di dibidang kepartaian masa reformasi

C. Pembahasan
1. Konfigurasi Politik terhadap produk hukum di bidang kepartaian di masa orde lama
Seiring dengan itu, konfigurasi politik yang sangat demokratis, timbul partisipasi masyarakat untuk turut membuat keputusan publik. Maklumat wakil presiden No X tahun 1945 disusul dengan maklumat-maklumat lainnya merupakan legalisasi bagi penarikan partisipasi rakyat seluas-luasnya.
Berdasarkan aturan peralihan pasal IV UUD 1945, kekuasaan-kekuasaan penting kenegaraan, termasuk legislatif, semula diletakkan di tangan presiden dengan bantuan Komite Nasional. Tetapi gagasan perluasan hak-hak demokrasi masyarakat telah menyebabakan keluarnya Maklumat No X Tahun 1945 yang menjadi Komite Nasinoal bukan lagi yang dapat menjadi lembaga penampung dan penyalur aspirasi masyarakat dalam membuat keputusan publik.
KNIP yang dibentuk oleh sidang PPKI tanggal 22 Agustus 1945 untuk pertama kali anggota-anggotanya diangkat oleh presiden dengan kedudukan sebagai pembantu predisen. Tetapi badan ini menjadi sangat representatif setelah keluarnya Maklumat No X Tahun 1945. Badan inilah yang membuat publik legislasi menggeser system pemerintahan dari presidentil menjadi perlementer. Sehingga presiden hanya menjadi kepala negara, tidak merangkap sebagai kepala pemerintahan.
System kepartaian berdasarkan Maklumat Pemerintah tanggal 3 November 1945 diubah menjadi system banyak partai. Dalam maklumat 3 November 1945 itu disebutkan bahwa atas usul BP-KNIP kepada pemerintah maka pemerintah memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada rakyat untuk mendirikan partai-partai politik. Dictum Maklumat ditanda tangani Wapres Moh. Hatta berbunyi sebagai berikut :
1. Pemerintah menyukai timbulnya partai-partai politik karena dengan adanya partai-partai itulah dapat dipimpin ke jalan yang benar segala aliran paham yang ada dalam masyarakat.
2. Pemerintah berharap supaya partai-partai politik itu telah tersusun, sebelumnya dilangsungkan pemilihan anggota Badan-badan Perwakilan Rakyat pada bulan Januari 1946.
Menyusul maklumat tersebut berdirilah secara resmi partai-partai politik yang sampai bulan Januari 1946 berjumlah 10 partai yaitu : Majelis Muslimin (Masyumi) 7 November 1945, Partai Buruh Indonesia (PBI) 8 November 1945, Partai Rakyat Jelata 8 November 1945, Partai Kristen Indonesia (Parkindo) 10 November 1945, Partai Sosialis Indonesia (PSI) 10 November 1945, Partai Rakyat Sosialis (PRS) 8 Desember 1945, Persatuan Rakyat Marhaen Indonesia (Permai) 17 Desember 1945, dan Partai Nasional Indonesia (PNI) 17 Desember 1945.
Sumber lain menyebutkan jumlah partai yang berdiri menyambut maklumat 3 November 1945 bukan hanya 10 partai, melainkan jauh lebih banyak, sebab selain muncul partai-partai kecil, partai-partai yang telah dilumpuhkan pada zaman Jepang juga bangkit lagi. Jumlah partai yang berdir pada November-Desember 1945 mencapai 35 partai berdasarkan asas kedaerahan, agama, ideology, dan lain-lain. Di antara partai tersebut terdapat partai-partai yang berdasarkan basis ideology dan dalam daerah yang sama. Tetapi pada umumnya mereka tidak saling menggabungkan diri. Kenyataan tersebut menyebabkan banyak partai sulit menggalang kekuatan organisasi untuk menyerap aspirasi masyarakat. Soedjatmoko menyebutkan keadaan itu sebagai ‘gambaran’ gejolak mental dan psikologis, ketimbang penegasan diri yang didasarkan pada pandangan dan sikap politik tertentu. Menyadari kesulitan teknis pada pandangan dan sikap politik tertentu. Menyadari kesulitan tekniks yang dihadapi KNIP dalam proses pengambilan keputusan, pada pertenggahan tahun 1946 pemerintah mengadakan pendekatan-pendekatan kepada para pemimpin partai agar menggabungkan dan menggelompokan partai-partai besar yaitu Masyuki, PNI dan PKI mencoba memenuhi harapan pemerintah mendekati partai-partai kecil untuk bergabung kedalam partainya. Tetapi partai-partai kecil mrnolak ajakan itu. Penoolakan itu wajar karena peraturan yang menganut system proporsional yang berlaku saat itu memungkinkan bahwa setiap partai betapa pun kecilnya dapat mempunyai wakilnya di KNIP.
Jumlah partai yang banyak dengan system proporsional pada keanggotaan KNIP menyebabkan membengkaknya jumlah anggota KNIP yang pada gilirannya menyebabkan pula timbulnya pengaruh lembaga legislative yang semakin kuat kepada pemerintah. Mula-mula timbul pendapat dikalanga partai-partai bahwa KNIP maupun kabinet tidak representatif karena tidak mencerminkan aliran-lairan yang ada di dalam masyarakat. Oleh karena itu, ada arus kuat yang menghendaki agar keanggotaan KNIP disempurnakan. BP-KNIP mengkristalkan arus itu dalam bentuk usul kepada pemerintah agar diadakan perubahan susunan keanggotaan KNIP sejalan dengan aliran-aliran dalam masyarakat. Kemudian pemerintah menjawab usul itu dengan Peraturan Presiden No 6. Tahun 1946 yang berisi penyempurnaan keanggotaan KNIP.
Ada perbedaan angka diantara beberapa sumber mengenai jumlah anggota KNIP dilihat dari tahap-tahap perkembangannya. Tetapi jumlah yang sama didapatkan setelah ada penyempurnaan terakhir pada tahun 1947. mengenai ini akan dirincikan terlebih lanjut dalam sub bab “Karakter Produk Hukum” dalam bab ini. Tetapi hal yang penting dalam kaitan ini adalah meskipun anggota-anggota KNIP itu diangkat oleh presiden (karena pada waktu itu belum memungkinkan diselengarakan Pemilu) namun lembaga ini berfungsi dengan baik sebagai parlemen. Keberadannya sangat mempengaruhi pemerintah dari keputusan-keputusannya menjadi dasar yang harus dipedomani oleh pemerintah. Karena pengaruh KNIP itu, sampai tahun 1948 saja tercatat ada lima kabinet yang jatuh bangun. Menurut Wilopo, pengaruh kekuatan-kekuatan aliran di dalam masyarakat bahkan, sudah terasa sebelumnya system banyak partai suatu hal yang menunjukan pemerintah tidak dapat bertindak ketika itu sebagai lembaga legislative, KNIP mempunyai prestasi yang cukup mengesankan dalam bidang perundang-undangan. Tercatat selama masa eksistensinya seja tahun 1945 sampai tahun 1949, lembaga ini telah menghasilkan 133 Undang – undang dan 5 mosi. Bahkan UU No 1 Tahun 1945 yang merupakan produk pertama Negara Republik Indonesia adalah UU yang lahir berdasarkan hak inisiatif KNIP.
Ketika Indonesia menjadi negara federasi dengan nama Republik Indonesia Serikat, peranan lembaga legislative terus berlanjut. System parlementer mendapat landasan konsititusional dalam konstitusi Republik Indonesia Serikat. Lembaga legislative RIS terdiri dari dua unsur yaitu DPR dan Senat. Keanggotaan DPR tidak berdasarkan partau tetapi berdasarkan pada negara-negara bagian NRIS, dan golongan Cina, Eropa, Arab sesuai dengan ketentuan yang dimuat di dalam konsitusi. Hal yang sama juga berlaku bagi Senat, dalam arti Senat RIS beranggotaan utusan-utusan negara yang diberi masing-masing dua jatah kursi. Tetapi ada kebijaksanaan yang dibuat oleh Pembentuk Konsitusi RIS, bahwa didalam system pemerintahan yang menganut system parlementer ini, eksekutif tak dapat dijatuhkan oleh parlemen. Hal ini ada pemikiran bahwa bentuk federasi Indonesia akan mempunyai pemerintah yang lemah karena banyaknya partai. Sehingga tidak kebijaksana jika dalam keadaan yang lemah eksekutif dapat dijatuhkan oleh parlemen. Namun kebijaksanaan ini pun menjanjikan pembentukan kabinet yang bertanggung jawab kepada parlemen. Ketentuan pasal 122 menyebutkan, DPR tidak dapat memaksa kabinet ataupun menteri untuk meletakkan jabatannya.
AK Pringgodigdo mengkualifikasi ini sebagai system presidential. Tetapi Ismail Sunny, berdasarkan pemahamannya atas pasal 118 dan 122 Konsitusi RIS menyebut sebagai system ‘kuasi parlementer kabinet’ . Negara Republik Indonesia Serikat berakhir setelah 17 November 1950 Indonesia kembali menjadi negara kesatuan. Namun dalam kurun waktu kurang lebih 7 ½ bulan perjalanan RIS, lembaga legislative telah menghasilkan tujuh UU Federal. Satu diantaranya UU Federal No 7 Tahun 1950 yang berisi perubahan bentuk susunan federasi menjadi kesatuan dan penggantian Konsitusi RIS dengan UUDS 1950. Selama kurun waktu tersebut telah pula dikeluarkan 11 mosi, satu interpelasi dan 285 pertanyaan.
Periode 1950-1959 adalah masa liberal di mana partai-partai melalui parlemen benar-benar mengatasi kedudukan pemerintah. Sehingga dapat dikatakan, bahwa pada waktu itu pola hubungan antara parlemen dan pemerintah merupakan bureau-nomia atau dalam istilah Wilopo ‘zaman pemerintahan parta-partai’.
Ada dua keanggotaan DPR pada periode ini, yakni DPR yang dibentuk oleh Presiden tanggal 16 Agustus 1950 dengan jumlah 235 orang dan DPR hasil pemilu 1955 berjumlah 257 orang. DPR pertama pada massa baktinya lebih kurang 51/2 tahun telah berhasil membuat 167 UU (lima diantaranya berasal dari dari usul inisiatif DPR, 21 mosi, 16 interpelasi, satu angket, dan dua kali penggunaan hak budget. Sedangkan DPR kedua diantaranya berasal dari Usul inisiatif). Dua mosi, 23 resolusi dan tiga interpelasi.

2. Konfigurasi Politik terhadap terhadap produk hukum di bidang kepartaian di masa orde baru
Meskipun para pakar mencoba memberikan identifikasi yang satu sama lain berbeda, tetapi ada persamaan di antara mereka bahwa Indonesia di bawah orde baru menampilkan konfigurasi politik yang tidak demokratis.
Abdurrahman Wahid menggambarkan secara lebih lugas bahwa Indonesia …” inikan otoriter, belum sampai ke taraf tirani”. Seperti telah dikemukakan bahwa tampilnya konfigurasi seperti ini karena logika pembangunan ekonomi menuntut stabilitas dan integrasi nasional. Logika pembangunan ekonomi telah membuat peranan negara menjadi dominan. Disamping karena logika pembangunan yang tentu berbeda konfigurasi politik pada orde baru dapat dibedakan dari orde lama dalam hal tumpuannya. Kalau Soekarno terutama mengandalkan kekuasaannya pada pengaruh karismanya sebagai seorang pemimpin dan pada kepandaiannya memegang kunci keseimbangan antara kekuatan-kekuatan politik yang saling bersaing dan bertentangan, maka Soeharto terutama mengandalkan kekuasaannya sebagai kepala eksekutif pada membangun organ-organ politik yang kuat, militer dan golkar. Oleh karena itu, kalau kekerasan politik Soekarno yang besar tampak tidak efektif karena tidak adanya organ politik yang kuat sebagai landasan, maka kekuasaan politik Soeharto dengan adanya militer dan Golkar yang menjadi landasan dan pendukung utamanya tampak sangat efektif.
Disisi lain tekad orde baru menjamin stabilitas politik dalam rangka pembangunann ekonomi mempunyai implikasi tersendiri pada kehidupan partai-partai dan peranan lembaga perwakilan rakyat.
Sejak awal pemerintah sudah mempunyai obsesi untuk menghentikan kericuhan-kericuhan politik. Untuk itu salah satu cara yang dapat ditempuh adalah mengatur system kepartaian sedemikian rupa, agar partai-partai yang ada tidak melakukan pertikaian yang dapat mengganggu ketengan pemerintah dalam melaksanakan pembangunan.
Menjelang Pemilu pertama(semula direncanakan tahun 1968, tetapi karena alotnya pembahasan UU Pemilu terpaksa ditunda sampai tahun 1971) pelaku politik orde baru, Angkatan Darat, telah melakukan berbagai tindakan politik untuk : Pertama, melemahkan partai-partai yang akan bertarung pada pemilu 1971. Kedua, menggalang kekuatan untuk menjadikan Golkar kuat sebagai partai pemerintah.
Persetujuan pemerintah untuk menyelenggarakan pemilu pada tahun 1971 diberikan setelah mempertimbangkan “keuntungan yang diperoleh jika mengulur waktu pemilu akan jauh lebih kecil, dari pada legitimasi yang harus dikorbankan jika pemilu itu ditunda-tunda”. Sebenarnya Angkatan Darat sejak semula sudah terhinggapi keengganan untuk menyelenggarakan pemilu, tatapi karena sudah ada ketetapan MPR untuk itu, maka mau tak mau pemilu harus dilaksanakan. Hal itu wajar karena Soeharto selalu memilih jalan konstitusional untuk menjaga dan memantapkan legitimasinya. Tetapi penerimaan atas tugas konstitusional “menyelenggarakan pemilu” itu disertai dengan target bahwa kekuatan Pancasila harus menang dalam pemilu. Penerimaan dan target itu berarti pemilu harus dilaksanakan, tetapi Golkar sebagai kekuatan pemerintah harus tampil sebagai pemenang. Maka terjadilah penggalangan kekuatan seperti emaskulasi terhadap PNI dengan berbagai kampanye pengordebaruan. Upaya rehabilitasi Masyumi ditolak, tetapi berdirinya Parmusi disetujui dengan syarat-syarat tertentu. NU meskipun dulunya merupakan partai kuat, selamat dari emaskulasi karena partai ini lebih fleksibel menerima keadaan.
Akhirnya hasil pemilu tahun 1971 memberikan kemenangan yang luar biasa bagi pemerintah karena Golkar meraup dukungan yang luar biasa mencapai 62,8 % dari kursi yang diperebutkan. Dengan modal itu pada masa-masa selanjutnya pemerintah bersama Golkar mengambil porsi dominan dalam semua spectrum proses politik dan menjadi orde baru sebagai negara kuat. Partai-partai yang ada selain golkar menjadi lemah, sebab setiap alternatif yang diajukan oleh partai-partai jika tidak disetujui oleh pemerintah tidak disetujui oleh Golkar yang memiliki suara mayoritas mutlak.
Kenyaataan ini berlanjut sampai akhir orde baru, dimana semua produk politik yang yang dirancang oleh DPR dan MPR didominasi oleh kepentingan pemerintah yang akhirnya menimbulkan berbagai kesenjangan dalam berbagai bidang termasuk dalam hal kepartaian.


3. Konfigurasi Politik terhadap terhadap produk hukum di bidang kepartaian di masa orde reformasi
Jatuhnya rezim orde baru memberikan pengaruh kepada berbagai system politik di Indonesia termasuk dalam hal kepartaian. Ini berawal dari agenda reformasi yang menginginkan perubahan disegala lini, penegakan hukum, pemerataan keadilan, dan sebagainya.
Kenyataan diatas melahirkan berbagai ide dan wacana untuk membangun yang aplikasinya diwujudkan melalui pembentukan partai-partai politik untuk memperjuangkan keadilan dan kepentingan masyarakat yang selama ini terasa terabaikan. Sehingga pada awal reformasi ini partai politik yang ikut pemilu mencapai 40 partai politik. Dan akhirnya merokemendasikan angggota DPR/MPR yang berlainan baju dan berlainan partai serta berlainan kepentingan.
Dengan kondisi yang demikian, maka dapat dipastikan bahwa produk hukum sebagai akibat dari pengaruh konfigurasi politik yang banyak tersebut akan melahirkan suatu keputusan yang dapat merangkul semua keinginan partai tersebut.
Menyikapi keadaan ini, dan kebutuhan akan adanya perubahan diberbagai bidang salah satu yang dilakukan oleh anggota DPR / MPR adalah melakukan amandemen UUD 1945, yang implementasinya adalah untuk mewujudkan agenda reformasi.
Dengan demikian, kahadiran orde reformasi telah dapat merubah berabagai bidang termasuk dalam bidang kepartaian, dimana diberikan kebebasan untuk mendirikan partai dalam mengikuti pemilu, kemudian partai pada perkembangan selanjutnya dapat memberikan rekomendasi atau utusan partai dalam pencalonan kepala daerah melalui pemilihan kepala daerah langsung.


C. Penutup
Pengaruh konfigurasi politik terhadap produk hukum di bidang kepartaian pada masa orde lama dan orde baru pada prinsipnya ditentukan oleh kepentingan pemerintah, karena memang partai-partai yang ada di dewan tersebut adalah partai yang dipelihara dan diperkuat oleh pemerintah, sehingga kepentingan pemerintah lebih menonjol ketimbang kepentingan rakyat yang diwakili oleh DPR tersebut. Sedangkan pada masa orde reformasi pergeseran terjadi karena partai politik yang ada di DPR / MPR tersebut lahir dari aspirasi masyarakat yang selama ini merasakan ketidakadilan dan diskriminasi. Sehingga aspirasi mereka harus mereka perjuangkan di dalam lembaga terhormat tersebut. Hasilnya, keinginan dan perubahan yang dimaksud beransur-angsur mulai nampak mengemuka. Hal ini terjadi karena memang masyarakat Indonesia sudah mulai menyadari dan mulai kritis terhadap persoalan-persoalan negara saat ini, sehingga DPR sebagai lembaga perwakilan rakyat harus mampu dan berani mengemukakan keinginan rakyat yang diwakilinya.




DAFTAR KEPUSTAKAAN


Ahmad Zaini Abar (Ed), Beberapa Aspek Pembangunan Orde Baru, Esei-esai dari Fisipol Bulaksumur, Ramadhan, Solo, 1990

Bintan R. Siragih, Peranan DPR-GR Periode 1965-1971 dalam Menegakkan Kehidupan Ketatanegaraan yang Konstitusional Berdasarkan UUD 1945, Fakultas Pascasarjana Universitas Padjadjaran, Bandung, 1991

David Reeve, Golkar of Indonesia : An Alternative to the Party System, Oxford University Press, Singapore, 1985

Ismail Sunny, Pergeseran Kekuasaan Eksekutif, Aksara Baru, Jakarta, 1983

Republik Indonesia, 30 Tahun Indonesia Merdeka, 1945 – 1975, PT. Cipta Lamtoro Gung Persada, Jakarta, Cet. VI, 1985

Moldjarto T, Politik Pembangunan Sebuah Analisis Konsep, Arah dan Strategi, Tiara Wacana, Yogyakarta, 1987

Wilopo, Zaman Pemerintahan Partai-Partai dan Kelemahan-kelemahannya, Yayasan Idayu, Jakarta, 1978

Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, Pustaka LP3ES Indonesia, Jakarta, 1998

Forum Keadilan, No. 2, 14 Mei 1992, hal. 84
A. Latar Belakang

Propinsi Riau merupakan salah satu Propinsi di Indonesia yang telah di anugrahi oleh Tuhan Yang Maha Esa kekayaan berupa Sumber Daya Alam (SDA) yang berlimpah baik di darat, di perairan maupun di udara yang merupakan modal dasar pembangunan daerah Riau khususnya dalam segala bidang. Modal dasar Sumber Daya Alam tersebut harus dilindungi, di pelihara, di lestarikan dan di manfaatkan secara optimal bagi masyarakat Riau umumnya.

Riau memiliki Biodiversity yang tinggi, terutama dari Sumber Daya Alam hewani yang mempunyai manfaat sebagai salah satu unsur pembentuk lingkungan hidup yang kehadirannya tidak dapat diganti, diantaranya; beberapa jenis Mamalia, jenis Aves, (burung), jenis Reptil, dan jenis Primata seperti; kelompok satwa yang tersebar di Kabupaten- Kabupaten di wilayah Propinsi Riau antara lain :

- Gajah
- Harimau
- Beruang
- Buaya Muara
- Ungko
- Siamang
- Tapir
- Burung Kuau
- Ular
- Kupu-kupu

Kesemua Sumber Daya Alam Hewani diatas, terancam kepunahan dan atau perkembangannya mengalami kemunduran dari sisi kwantitatifnya. Hal yang demikian disebabkan, sebagai berikut :

1. Pembalakan liar (illegal logging) baik dilakukan secara perseorangan maupun korporasi dengan merambah hutan Produktif seperti; hutan Produksi, hutan Lindung dan hutan Konservasi, sehingga menyebabkan hilangnya fungsi perlindungan sistem penyangga kehidupan terhadap satwa berserta ekosistemnya di alam bebas.

2. Penambangan liar (illegal mining), yang dalam hal ini merupakan tindakan yang dapat berakibat rusaknya kawasan swaka alam dan kawasan pelestarian alam yang orientasinya berdampak kepunahan salah satu Sumber Daya Alam hewani terhadap habitatnya.

3. Perburuan illegal, dimana dapat menekan populasi satwa dilindungi yang mengarah kepada ancaman kepunahan. Disisi lain disebabkan terjadinya konflik antara satwa yang dilindungi (seperti; Gajah Sumatera dan Harimau Sumatera) dengan tingkat kemiskinan penduduk di sekitar habitat satwa tersebut yang memiliki nilai ekonomis yang merupakan faktor pendorong terhadap perburuan gading Gajah, taring Harimau dan kulit Harimau.
4. Perdagangan illegal, secara komersial dapat meraup keuntungan yang sangat besar sekali sehingga; menjadikan motivasi bagi pemburu liar untuk berlomba-lomba mencari satwa yang dilindungi tersebut (seperti; Gajah Sumatera dan Harimau Sumatera).

Secara Geografis, Propinsi Riau merupakan wilayah yang sangat strategis yang berada di jalur perdagangan dunia yang berada di Selat Malaka dan berdekatan dengan negara-negara tetangga seperti; Malaysia dan Singapura. Berdasarkan letak Propinsi Riau yang strategis dimaksud; menjadikan ajang bisnis satwa yang dilindungi secara illegal oleh pelaku-pelaku kejahatan dengan memanfaatkan celah kelemahan penegakan hukum di Propinsi Riau sehingga tidak terwujudnya upaya penyelamatan dan perlindungan satwa yang di lindungi.

Mengingat Negara Indonesia adalah Negara yang berdasarkan hukum maka untuk terwujudnya upaya penyelamatan dan perlindungan terhadap satwa yang dilindungi perlu dilakukan penegakan hukum secara tegas dengan membentuk team terpadu yang terdiri dari instansi terkait.


B. Maksud, Tujuan dan Sasaran

Upaya penegakan hukum terhadap penyelamatan dan perlindungan satwa yang di lindungi di Propinsi Riau ini dimaksudkan; guna mencegah kepunahan Sumber Daya Alam Hewani dari ancaman hilangnya fungsi perlindungan sistem penyangga kehidupan terhadap satwa berserta ekosistemnya di alam bebas karena akibat pengaruh dari; pembalakan liar (illegal logging), penambangan liar (illegal mining), perburuan illegal, dan perdagangan illegal.

Tujuannya adalah; memberikan perlindungan terhadap satwa-satwa yang dilindungi (satwa langka) dari rongrongan para pelaku kejahatan yang tidak bertanggung jawab atas ancaman kepunahan satwa-satwa langka di Propinsi Riau, sehingga dapat terpelihara dan berkembang biak/lestari sebagai salah satu unsur pembentuk lingkungan hidup yang kehadirannya tidak dapat diganti, serta dalam jangka panjang mempunyai kecenderungan untuk mencapai keseimbangan populasi secara dinamis sesuai dengan kondisi habitat beserta lingkungannya.

Sasarannya adalah; dapat menimbulkan efek jera terhadap pelaku-pelaku yang menghambat pengembangbiakan dan atau peningkatan Sumber Daya Alam Hewani yang dilindungi serta terhindar dari gejala erosi genetik.


C. Penyelamatan dan Perlindungan Satwa yang di Lindungi di Propinsi Riau

Upaya penyelamatan dan perlindungan satwa yang di lindungi pada prinsifnya memberikan jaminan terpeliharanya keanekaragaman sumber genetik dan terpeliharanya proses ekologis yang menunjang sistem penyangga kehidupan serta tipe-tipe ekosistemnya, dengan melalui kegiatan-kegiatan sebagai berikut :

1. Pengelolaan dalam habitat (In Situ)
a. Pembinaan padang rumput untuk makan satwa;
b. Penanaman dan pemeliharaan pohon pelindung dan sarang satwa, pohon sumber makan satwa;
c. Pembuatan fasilitas air minum, tempat berkubang dan mandi satwa;
d. Penjarangan jenis tumbuhan dan atau populasi satwa;
e. Penambahan tumbuhan atau satwa asli;
f. Pemberantasan jenis tumbuhan dan satwa pengganggu.

2. Pengelolaan di luar habitat (Ex Situ)
a. Memindahkan jenis satwa ke habitatnya yang lebih baik;
b. Mengembalikan ke habitatnya, rehabilitasi atau apabila tidak mungkin, menyerahkan atau menitipkan di Lembaga Konservasi atau apabila rusak, cacat atau tidak memungkinkan hidup lebih baik memusnahkannya.

Terhadap upaya penyelamatan dan perlindungan satwa yang dilindungi di Propinsi Riau tidak begitu mendapat perhatian yang serius, baik itu dalam bentuk In Situ maupun Ex Situ. Hal ini sebenarnya merupakan tanggung jawab dan kewajiban Pemerintah atas kepeduliannya untuk melakukan upaya penyelamatan dan perlindungan satwa yang di lindungi di Propinsi Riau. Sementara itu, peran serta masyarakat sifatnya hanya digerakan oleh Pemerintah khususnya Pemerintahan Propinsi Riau melalaui kegiatan yang berdaya guna dan berhasil guna. Untuk itu, Pemerintah Propinsi Riau berkewajiban mensosialisasikan kepada masyarakat tentang arti pentingnya penyelamatan dan perlindungan satwa yang di lindungi dalam rangka “sadar konservasi sumber daya alam hewani”.

Sumber daya alam hewani dan ekosistemnya merupakan salah satu bagian yang terpenting dari sumber daya alam yang mempunyai fungsi dan manfaat sebagai unsur pembentuk lingkungan hidup, yang kehadirannya tidak dapat diganti. Sehubungan dengan sifat sumber daya alam dimaksud tidak bisa diganti dan mempunyai kedudukan serta peranan penting bagi kehidupan manusia, maka upaya konservasi sumber daya alam hewani khususnya adalah menjadi kewajiban mutlak dari setiap generasi.

Tindakan yang tidak bertanggung jawab terhadap sumber daya alam hewani dapat mengancam kepunahan pada kawasan swaka margasatwa yang dilindungi di Propinsi Riau khususnya.


Keberhasilan terhadap upaya penyelamatan dan perlindungan satwa yang dilindungi di Propinsi Riau dapat tercapainya 3 (tiga) sasaran, antara lain :

1. Menjamin terpeliharanya sumber daya alam hewani dari ancaman kepunahan.
2. Menjamin terpeliharanya keanekaragaman sumber genetik.
3. Mengendalikan cara-cara pemanfaatan sumber daya alam hewani khususnya, sehingga terjamin kelestariannya.


Upaya pemanfaatan sumber daya alam hewani secara lestari merupakan salah satu aspek konservasi sumber daya alam hewani dan ekosistemnya, belum sepenuhnya di kembangkan di Propinsi Riau sesuai dengan kebutuhannya; demikian pula halnya dengan pengelolaan kawasan pelestarian alam dalam bentuk taman nasional, taman hutan raya, taman wisata alam dan taman margasatwa yang menyatukan fungsi perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis satwa dan ekosistemnya serta pemanfaatan secara lestari.

Berdasarkan laporan hasil Investigasi Komunitas Pencinta Alam Se-Pekanbaru tahun 2006; satwa dan bagian tubuh yang sering di perdagangkan adalah sebagai berikut :

- Elang Bondol (Haliastur Indus).
- Ungko/Owa (Hylobates Agilis Ungko)
- Beruang (Helarctus Malayanus)
- Buaya Muara (Crocodylus Porosus)
- Macan Dahan (Neofelis Nebulusa)
- Rusa (Cervus Timorenses)
- Siamang (Symphalagus Syndactylus)
- Kukang/Malu-malu (Nycticebus Coucang)
- Kakak Tua Jambul Kuning (Cacatua Galerita)
- Nuri (Lolrius Lory)
- Harimau (Panthera Tigris Sumatrae)
- Gajah (Elephas Maximus Sumatranus)


Dari hasil Investigasi yang dilakukan oleh Komunitas Pencinta Alam Se-Pekanbaru pada tahun 2006 terhadap satwa yang di lindungi sebagaimana tersebut diatas, telah membuktikan bahwa; sistem perlindungan terhadap satwa yang dilindungi di Propinsi Riau tidak ada sama sekali. Hal inilah merupakan salah satu faktor ancaman kepunahan terhadap satwa yang dilindungi di Propinsi Riau, yang orientasinya kepada menjamurnya pasar illegal terhadap perdagangan bebas satwa yang di lindungi tersebut.

D. Penegakan Hukum

Dalam hal penegakan hukum terhadap Penyelamatan dan Perlindungan satwa yang di lindungi khususnya Propinsi Riau dengan mengacu dan atau berpedoman kepada :

1. Pasal 5 ayat (2) dan pasal 33 (3) UUD 1945

2. UU No. 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kehutanan (Lembaran Negara Tahun 1967 No. 8, Tambahan Lembaran Negara No. 2823).

3. UU No. 9 Tahun 1985 tentang Perikanan (Lembaran Negara Tahun 1985 No. 46, Tambahan Lembaran Negara No. 3299)

4. UU RI No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (Lembaran Negara Tahun 1990 No. 49, Tambahan Lembaran Negara No. 3419).

5. UU No. 12 Tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman (Lembaran Negara Tahun 1992 No. 46, Tambahan Lembaran Negara No. 3478).

6. UU No. 16 Tahun 1992 tentang Karantina Hewan, Ikan dan Tumbuhan (Lembaran Negara Tahun 1992 No. 56, Tambahan Lembaran Negara No. 3482)

7. UU No. 5 Tahun 1994 tentang Pengesahan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Mengenai Keanekaragaman Hayati (Lembaran Negara Tahun 1994 No. 41, Tambahan Lembaran Negara No. 3556).


8. UU No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Tahun 1997 No. 68, Tambahan Lembaran Negara No. 3699).

9. Peraturan Pemerintah No. 13 Tahun 1994 tentang Perburuan Satwa Buru (Lembaran Negara Tahun 1994 No. 19, Tambahan Lembaran Negara No. 3544).

10. Peraturan Pemerintah No. 68 Tahun 1998 tentang Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam (Lembaran Negara Tahun 1998 No. 132, Tambahan Lembaran Negara No. 3776).

11. Peranturan Pemerintah RI No. 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa (Lembaran Negara Tahun 1999 No. 14).


Hukum Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya mempunyai sifat khusus (lex specialis) yang berazaskan pelestarian kemampuan dan pemanfaatan sumber daya alam hayati dan ekosistemnya secara serasi dan seimbang (vide pasal 2 UU RI No. 5 tahun 1990) karena hukum Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya ini mengatur hal-hal yang berkaitan dengan;

1. Proses Ekologis yang menunjang sistem penyangga kehidupan bagi kelangsungan pembangunan dan kesejahteraan manusia.
2. Keanekaragaman sumber genetik dan tipe-tipe ekosistem.
3. Cara-cara pemanfaatan sumber daya alam hayati guna menjamin kelestarian.

Apabila ada peraturan perundang-undangan lainnya yang mengatur materi yang bersangkutan dengan Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya maka; yang diberlakukan lebih dahulu adalah Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Oleh karena itu, hukum Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya disebut sebagai lex specialis, sedangkan hukum lainnya seperti; hukum kehutanan, hukum agraria, hukum perikanan dan hukum lingkungan sebagai hukum umum (lex specialis derogat legi generali).

Tujuan hukum Konservasi Sumber Daya Alam Hayati berdasarkan UU RI No. 5 tahun 1990 adalah; mengusahakan terwujudnya pelestarian sumber daya alam hayati serta keseimbangan ekosistemnya sehingga dapat lebih mendukung upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat dan mutu kehidupan manusia (vide pasal 3).

Terhadap pelaku Tindak Pidana Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya diatur pada UU RI No. 5 Tahun 1990 pasal 40 ayat;

(1) Barang siapa dengan sengaja melakukan pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 19 ayat (1) dan pasal 33 ayat (1) di pidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp. 200.000.000,- (dua ratus juta rupiah).

(2) Barang siapa dengan sengaja melakukan pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 21 ayat (1) dan ayat (2) serta pasal 33 ayat (3) di pidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp. 100.000.000,- (seratus juta rupiah).

(3) Barang siapa karena kelalaiannya melakukan pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 19 ayat (1) dan pasal 33 ayat (1) di pidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp. 100.000.000,- (seratus juta rupiah).

(4) Barang siapa karena kelalaiannya melakukan pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 21 ayat (1) dan ayat (2) serta pasal 33 ayat (3) di pidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah).

(5) Tindak Pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) adalah Kejahatan dan Tindak Pidana sebagaimana dimaksud pada ayat 3 dan ayat (4) adalah Pelanggaran.


E. Kesimpulan

1. Terhadap upaya penyelamatan dan perlindungan satwa yang dilindungi di Propinsi Riau tidak begitu mendapat perhatian yang serius, baik itu dalam bentuk Pengelolaan dalam habitat (In Situ) maupun Pengelolaan di luar habitat (Ex Situ). Hal ini sebenarnya merupakan tanggung jawab dan kewajiban Pemerintah atas kepeduliannya untuk melakukan upaya penyelamatan dan perlindungan satwa yang di lindungi di Propinsi Riau. Sementara itu, peran serta masyarakat sifatnya hanya digerakan oleh Pemerintah khususnya Pemerintahan Propinsi Riau melalaui kegiatan yang berdaya guna dan berhasil guna. Untuk itu, Pemerintah Propinsi Riau berkewajiban mensosialisasikan kepada masyarakat tentang arti pentingnya penyelamatan dan perlindungan satwa yang di lindungi dalam rangka “sadar konservasi sumber daya alam hewani”.

2. Mengingat Negara Indonesia adalah Negara yang berdasarkan hukum maka untuk terwujudnya upaya penyelamatan dan perlindungan terhadap satwa yang dilindungi perlu dilakukan penegakan hukum secara tegas dengan membentuk team terpadu yang terdiri dari instansi terkait, hal dimaksud orientasinya adalah; dapat menimbulkan efek jera terhadap pelaku-pelaku yang menghambat pengembangbiakan dan atau peningkatan Sumber Daya Alam Hewani yang dilindungi serta terhindar dari gejala erosi genetik.
Copyright © 2013 FANTASI