Keraguan

Keraguan merupakan hal yang terbanyak melanda hati dan pemikiran manusia, apakah karena tidak cukup pengetahuan atau karena kurang memahami hasil, yang pasti begitulah keadaan manusia sepanjang masa.
Keraguan-keraguan itu bisa dibagi berdasarkan objek, subjek, dan pengaruh-pengaruh yang ditimbulkannya. Menurut Darmodiharjo dan Shidarta dalam buku Pokok-pokok Filsafat Hukum (Apa dan Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia) disebutkan beberapa macam keraguan-keraguan yang terpenting:
1. Keraguan mutlak dan relatif. Apabila manusia ragu terhadap semua persoalan bahkan pada dirinya sendiri, maka hal seperti ini disebut dengan keraguan mutlak. Selain dari hal ini dinamakan dengan keraguan relatif;
2. Keraguan psikis, pertanyaan, dan kondisional. Keraguan bisa hadir karena kondisi kejiwaan seseorang dan juga sangat mungkin muncul karena pertanyaan-pertanyaan yang terkait dengan logika serta kondisi-kondisi zaman, seperti pada zaman Renaissance yang terjadi di Barat dimana telah menghadirkan berbagai keraguan-keraguan tertentu;
3. Keraguan ilmiah, filosofis, dan umum. Keraguan global bisa menimpa banyak orang seperti keraguan terhadap kejadian-kejadian yang dikatakan hadir dalam sejarah manusia. Begitu pula pertanyaan-pertanyaan ilmiah dan filosofis sangat sarat memunculkan keraguan-keraguan, seperti keraguan sebagian filosof berkenaan dengan gerak dan yang semacamnya;
4. Keraguan yang merusak dan membangun. Keraguan dapat dibagi menjadi demikian dengan berdasarkan pengaruh dan efeknya yang positif dan negatif. Keraguan yang berimbas pada rukun-rukun penting keagamaan dan asas-asas akhlak adalah jenis keraguan yang merusak, sementara keraguan yang menyentuh wilayah penelitian ilmiah dan pengetahuan manusia merupakan bentuk keraguan yang membangun;
5. Keraguan fundamental dan struktural. Keraguan bisa menjadi dasar bagi hadirnya keraguan-keraguan yang lain. Keraguan dalam ranah aksioma-aksioma dan asas-asas global disebut dengan keraguan fundamental, sementara keraguan yang hadir dalam domain dan wilayah permasalahan-permasalahan ilmiah dan teoritis dinamakan dengan keraguan struktural;
6. Keraguan ontologis dan epistemologis. Keraguan dalam ranah hakikat-hakikat eksistensi dan perkara-perkara wujud disebut dengan keraguan ontologis. Dan keraguan yang berhubungan dengan kemungkinan pencapaian sebuah keyakinan, ilmu, dan pengetahuan dinamakan keraguan epistemologis;
7. Keraguan yang dikehendaki dan yang dipaksakan. Apabila seseorang secara sadar dan sengaja meragukan sesuatu supaya menggapai suatu keyakinan yang lebih tinggi atau ingin menjadi seorang peneliti, maka keraguannya tersebut dinamakan keraguan yang dikehendaki. Jika tidak demikian, yakni dia terpaksa dan diluar kehendaknya melakukan suatu penelitian atas suatu perkara yang meragukannya, maka hal seperti ini digolongkan sebagai keraguan yang dipaksakan.

0 comments:

Kritik Terhadap Fenomenologi Agama

Fenomenologi, sebagai perspektif teoritis atau pandangan filosofis yang berada di balik sebuah metodologi, dimasukkan oleh Michael Crotty ke dalam epistemologi konstruksionisme (interpretivisme) yang muncul dalam kontradistingsi dengan positivisme dalam upaya-upaya untuk memahami dan menjelaskan realitas manusia dan sosial. Seperti penjelasan Thomas Schwandt, yang dikutip Crotty, “interpretivisme dianggap bereaksi kepada usaha untuk mengembangkan sebuah ilmu alam dari yang sosial. Kertas peraknya pada umumnya adalah metodologi empirisis logis dan upaya untuk menerapkan kerangka itu kepada penyelidikan manusia”. Pendekatan positivis mengikuti metode-metode ilmu alam dan, melalui observasi terpisah dan diduga bebas nilai, mencoba mengidentifikasi ciriciri universal dari kemanusiaan, masyarakat, dan sejarah yang menawarkan penjelasan dan karenanya, kontrol dan kemampuan dapat diprediksi. Pendekatan interpretivis, sebaliknya, mencari interpretasi-interpretasi yang dikeluarkan secara kultural dan disituasikan secara historis tentang dunia kehidupan sosial.

Perdebatan ini akan dibagi ke dalam tiga tema, yaitu (1) keberlangsungan fenomenologi sebagai tradisi filosofis; (2) motif teologis; (3) dan keterlibatan ilmuan agama secara sosial dalam masyarakat.

1. Kritik Gavin Flood tentang Keberlangsungan Fenomenologi Sebagai Sebuah Tradisi Filosofis
Yang pertama adalah kritik yang dilakukan Gavin Flood tentang keberlangsungan fenomenologi sebagai tradisi filosofis yang menjadi dasar pengembangan riset agama. Menurut Flood, metode yang diperkenalkan para fenomenolog, yang mencoba membatasi pengaruh bias-bias yang mungkin merusak, yang digambarkan oleh Kristensen dan Parrinder sebagai aplikasi teori-teori evolusioner kepada agama dan budaya, serta oleh Eliade dan Smart sebagai kecenderungan-kecenderungan reduksionistis dalam ilmu-ilmu sosial, didasari pada teori filosofis yang memasukkan bias yang lebih dalam, namun lebih sederhana, ke dalam cara suatu pengetahuan diperoleh dan diatur. Dengan mengasumsikan pengalaman universal manusia pada jantung semua agama yang dipahami secara kognitif (intuisi) oleh “subjek yang terpisah”, para fenomenolog mengabaikan, atau setidaknya memperkecil, pentingnya konteks-konteks kultural, historis dan sosial. Di samping itu, “keistimewaan epistemik” yang diberikan kepada periset tetap tersembunyi, karena ia menyembunyikan relasi kekuasaan antara periset dengan komunitas yang diteliti. Dengan melakukan pengurungan fenomenologis untuk menghilangkan semua tipe prasangka, ilmuan agama secara paradoksal tetap mengkontrol pengetahuan dan dengan demikian membuat aturanaturan untuk menafsirkan fenomena keagamaan. Ini membuat fenomenologi, setidaknya, rentan terhadap tuduhan bahwa ia sebenarnya menyebarkan satu metode untuk mempertahankan kekuasaan terhadap objek kajian akademis, meskipun ada kesepakatan maya di kalangan fenomenolog bahwa pengalaman keagamaan personal mereka memberikan akses istimewa ke dalam pikiran seorang praktisi keagamaan. Klaim terakhir terhadap pandangan keagamaan ini, yang tidak terdapat pada ilmuan lainnya, sangat kuat menyiratkan “agenda teologis” di balik fenomenologi agama, dan kemudian menyebabkan ketegangan antara teologi dan kajian akademis tentang agama-agama.

2. Kritik Donald Wiebe terhadap Motif Teologis van der Leeuw, Elliade dan Smart
Wiebe menuduh ketiga tokoh ini telah melakukan teologisasi terhadap kajian akademis tentang agama-agama. Van der Leeuw, misalnya, bersikukuh bahwa setiap ilmuan mesti berangkat dari sebuah orientasi kultural terhadap kehidupan, yang sangat serupa dengan posisi keyakinan pribadi, dan menegaskan bahwa karena ilmuan disituasikan dalam sebuah konteks khusus, maka aktivitas ilmiahnya tidak dapat dipisahkan dari “pencarian religio-kultural” ilmuan itu sendiri. Menurut Wiebe, van der Leeuw dalam hal ini bersifat kekanak-kanakan dan menyesatkan, karena pandangan tersebut mencegah bias-bias peneliti dari keadaan dikenali dan diklarifikasi secara kritis-ilmiah. Argumen ini menghancurkan tujuan akademis yang didukungnya tepatnya karena ia “mengabaikan perbedaan-perbedaan kritis antara agama dan kajian ilmiah-akademis tentang agama”. Ini berarti bahwa van der Leuuw, yang mencoba memindahkan tradisi Belanda yang telah dimulai oleh Chantepie de la Saussaye dan C. P. Tiele melampaui teologi, sebenarnya malah melakukan kebalikannya dengan mengarahkannya kembali kepada teologi. Kata Wiebe, “Dengan van der Leeuw … kajian agama tidak hanya tidak bergerak melampaui tahapan yang telah dicapai disiplin keilmuan itu di Belanda, namun lebih tepatnya kembali kepada pendekatan teologis awal—sebuah pendekatan yang sama saja dengan subversi terhadap kajian ilmiah agama.”
Singkatnya, kritik terhadap fenomenologi agamanya van der Leeuw, seperti dijelaskan Allen, didasari pada asumsi bahwa pendekatan fenomenologisnya didasari pada sejumlah penilaian dan asumsi teologis dan metafisis; seringkali bersifat subjektif dan begitu spekulatif; mengabaikan konteks kultural dan historis dari fenomena agama dan kurang bernilai bagi riset yang berbasis empiris.
Terhadap Elliade, Wiebe menyerang metode hermeneutikanya yang disebutnya sebagai “sebuah upaya untuk memulihkan kembali nilai-nilai dan makna-makna transenden yang telah ditinggalkan yang pernah diberikan kepada para penganutnya oleh tradisi-tradisi itu.” Pandangan ini didukung oleh penegasan Eliade bahwa bentuk-bentuk agama kuno dan primitif adalah paradigmatik bagi kehidupan agama secara umum karena mereka mengungkap “situasi-situasi eksistensial fundamental yang secara langsung relevan dengan manusia modern.” Wiebe melihat minat Elliade dalam tradisi-tradisi kuno dan primitif tidak berangkat dari satu pendekatan ilmiah terhadap kajian agama, karena ini “akan mengharuskan distorsi reduksionistik terhadap kebenaran agama dan karenanya, distorsi kebenaran tentang agama.” Wiebe beranggapan bahwa posisi anti-reduksionistik-nya Elliade menyembunyikan “agenda teologis yang terselubung”. Untuk mendukung hal itu, ia mengutip pandangan Elliade bahwa dengan menafsirkan agama secara “religius”, ilmuan memberikan kontribusi kepada “penyelamatan” “manusia modern”. “Pengetahuan tentang agama” dengan demikian menjadi “pengetahuan religius”, yang dalam pandangan Wiebe mengkonfirmasi metode hermeneutik Elliade “tidak bisa dibedakan dari religio-teologis.”
Baik van der Leeuw maupun Elliade menegaskan bahwa seorang yang religius mengakui adanya kekuatan transenden atau realitas yang supranatural sebagai sumber pengalaman keagamaan manusia. Mereka menegaskan bahwa ini benar buat orang beriman, bahkan mereka melampuai pernyataan ini dengan menegaskan bahwa yang transenden membentuk satu realitas ontologis, yang dalam sebagian hal ilmuan mesti mengalaminya secara personal jika pemahaman yang murni tentang agama ingin dicapai atau dikomunikasikan. Dengan begitu, van der Leeuw dan Elliade rentan pada tuduhan bahwa fenomenologi mereka serupa dengan teologi agama.
Begitu pula, gagasan-gagasan Ninian Smart, menurut Wiebe, ketika dianalisis secara hati-hati, memunculkan pula asumsi-asumsi teologis yang sama di balik fenomenologi agama. Ini tampak jelas pada penolakannya untuk mengikuti posisi “ateisme metodologis”nya Peter Berger karena alasan bahwa itu mungkin bisa menyakiti komunitas beriman. Smart juga bersikukuh pada pandangan bahwa “mempelajari agama” dan “merasakan kekuatan yang hidup dari agama” tidak hanya bisa berjalan bersama, tetapi “mesti berjalan bersama jika kajian tentang agama diharapkan bisa masuk ke dalam era baru yang menjanjikan.” Malah kebalikannya, petuah Smart ini “lebih mungkin memasuki kajian religio-teologis tentang agama yang darinya kajian ilmiah tentang agama pertama kali muncul.” Wiebe menyelidiki apa yang ia anggap deskripsi ambigu Smart karena memasukkan pertanyaan tentang kebenaran agama, yang melampaui kepentingan-kepentingan ilmiah, meskipun Smart mengatakan bahwa kajian agama sangat berbeda dari teologi. Dengan mengangkat isu tentang kebenaran agama, Smart sebenarnya membangun kembali ikatanikatan awal antara kajian akademis tentang agama dan kesalehan. Kembalinya Smart kepada perspektif teologis, menurut Wiebe, ditegaskan oleh caranya menghadapi epoché (pengurungan). Apa yang disebut Smart dengan “pengurungan ekspresi” sebaliknya memberikan ruang bagi ilmuan untuk memasukkan ke dalam penilaian-penilaian yang ditunda itu perasaan-perasaan yang diekspresikan oleh para penganut agama, tanpa mendukung atau mengabsahkan perasaan-perasaan itu. Pada titik inilah, kata Wiebe, ambiguitas posisi Smart muncul. Jika ilmuan agama bertujuan tidak hanya memperoleh pengetahuan tentang agama-agama, namun juga mengungkapkan keyakinannya tentang nilai-nilai dan sentimen-sentimen keagamaan, maka sesuatu yang lebih dari pengetahuan agama akan terkandung, jika bukan teologi, setidaknya metafisika.

0 comments:

Hati-hati terhadap Globalisasi Kebudayaan

Globalisasi kebudayaan bukan hanya sebuah hal yang ditakuti namun adalah sebuah hal yang juga diharapkan dan bahkan di upayakan agar hal itu terjadi. di satu sisi ini baik untuk kemajuan daerah namun disisi lain ini dapat merusak sendi atau norma budaya bangsa. ciri berkembangnya globalisasi kebudayaan ini adalah :
1. Berkembangnya pertukaran kebudayaan internasional.
2. Penyebaran prinsip multikebudayaan (multiculturalism), dan kemudahan akses suatu individu terhadap kebudayaan lain di luar kebudayaannya.
3. Berkembangnya turisme dan pariwisata.
4. Semakin banyaknya imigrasi dari suatu negara ke negara lain.
5. Berkembangnya mode yang berskala global, seperti pakaian, film dan lain lain.
6. Bertambah banyaknya event-event berskala global, seperti Piala Dunia FIFA, Grammy Award, Festival Canes, konser dan lain sebagainya.
efeknya ? mungkin sudah ada dalam benak pemikiran kita semua, karena pengaruh itu nyata dalam penglihatan kita tiap hari di negeri ini.

0 comments:

SYARAT KEPEMIMPINAN DAN KEKUASAAN DALAM PERSPEKTIF ISLAM

Pendahuluan

Pada tahun 1925, goncangan pemikiran hebat terjadi di Mesir. Gara-gara terbit sebuah kitab berjudul Al-Islam wa Ushul al-Hukm-Bahts fi al-Khilafah wa al-Hukumah fi al-Islam. Kitab tersebut memaklumatkan bahwa Islam tidak mengatur masalah kekhalifahan, pemerintahan dan negara. Merujuk pada doktrin Injil dinyatakan, ”Berikan kepada Kaisar apa yang menjadi haknya dan berikan kepada Tuhan apa yang menjadi hak-nya.” (Matheus: 22).
Respons terhadap kitab tersebut luar biasa. Kemarahan ulama Mesir sedemikian hebat. Berdiri di garis terdepan, Syekh Rasyid Ridha’, ia memvonis bahwa pemikiran penulis kitab itu adalah pemikiran yang kacau, menyeleweng, dan mulhid (murtad). Terlebih yang menulis adalah Syeikh Ali Abdul Raziq, Ulama al-Azhar Universty, mantan Menteri Waqf Mesir, Hakim Mahkamah Syari’ah, yang dikalangan intelektual Mesir degelari al-Ustadz al-Muhaqqiq, al-Alamah al-Kabir.
Ulama Mesir kemudian terbelah menjadi dua kelompok besar. Pertama, ulama yang mendukung dan membela mati-matian pemikiran Syeikh Ali Abdul Raziq seperti Ahmad Lutfi Sayyid, Thaha Husein dan Muhammad Husein Heikal. Dalam perkembangan berikutnya Heikal bertobat dan menginsafi kesalahannya. Lantas ia balik menyerang pemikiran Syeikh Ali Abdul Raziq dengan karyanya, “Daulat Islamiyat”. Kedua, ulama yang menentang habis-habisan pemikiran Syeikh Ali Abdul Raziq. Ia adalah Syekh Rasyid Ridha, murid kesayangan Muhammad Abduh.
Kontroversial tersebut akhirnya membawa pengaruh yang cukup besar dalam percaturan pemikiran intelektual muslim dunia. Bahkan menjadi cikal-bakal munculnya perbedaan pada generasi-generasi sesudahnya. Hingga saat ini kajian Islam tentang kekhalifahan, selalu diwarnai oleh dua pandangan besar tersebut, ada yang mendukung dan ada pula yang menolak. Termasuk di kalangan intelektual muslim Indonesia. Seperti silang pendapat yang terjadi antara Muhammad Natsir dan Nurcholish Madjid tahun 1970. Topik yang diperbincangkan adalah Islam dan Negara.
Kepemimpinan (imamah) yang merupakan bagian tak terpisahkan dari kekhalifahan atau pemerintahan yang menjadi fokus tulisan ini, juga tidak lepas dari perbedaan pandangan tersebut. Dalam Tarikh Islam, imam (pemimpin) menjadi penyebab utama perpecahan umat Islam pasca wafatnya Rasulallah SAW. Puncaknya saat tebunuhnya Usman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib.
Masing-masing pihak mempunyai kriteria berbeda dalam memilih dan menetapkan seorang imam. Pengikut Ali bin Abi Thalib berpendapat bahwa yang berhak menjadi imam adalah Ali bin Abi Thalib dan keturunannya. Dikemudian hari mereka dikenal dengan kaum Syi’ah. Lainnya berpandangan bahwa semasa hidup Rasulallah tidak berwasiat tentang siapa penggantinya, maka siapapun boleh menjadi imam asalkan sejalan dengan Al-Qur’an dan Sunnah Nabi. Kelompok ini menamakan diri kaum Mu’tazilah.
Lantas ada satu kelompok lagi, kelompok ini adalah kumpulan orang-orang yang kecewa dan tak berpihak pada kedua-duanya, yang disebut dengan kaum Khawarij. Slogan terkenal mereka adalah ”la hukm illa lillah” (pengadilan hanyalah di tangan Allah). Dalil yang menjadi rujukan mereka adalah ”Dan barang siapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah SWT, maka mereka itu adalah orang-orang kafir,” (QS. Al-Maidah:44).


Makna Kepemimpinan
Pasca khalifaturrasidin, pengkafiran sesama muslim makin marak. Persoalannya terletak pada siapa yang pantas menjadi khalifah (pemimpin)? Selain itu dan ini menjadi kajian menarik adalah persyaratan apa saja yang harus ada pada diri seorang khalifah dan apa misi yang dibawa dan diemban oleh seorang khalifah di muka bumi ini? Banyak term yang digunakan al-Qur’an dalam membahas tentang kepemimpinan, yaitu; al-Imam, al-Khilaafah, Ulil Amri, dan al-Malik.
Al-Imam adalah suatu istilah yang berarti pemuka, dipakai dalam berbagai aspek kehidupan. Sejak awal istilah imam digunakan guna menyebut seseorang yang memimpin (amma) salat berjama’ah diantara para partisipan (ma’mun). Ikatan yang demikian erat dengan dimensi keagamaan kelihatannya menjadikan kurang dikaitkan dengan politik, sebagaimana dapat dilihat dari penggunaan khalifah bukan imam pada Abu Bakar dan penerusnya.
Istilah imam akhirnya mengalami perkembangan yang cukup luas, tidak hanya digunakan sebatas dalam pemimpin spritual dan penegak hukum, tapi lebih dari itu juga digunakan dalam ke-khalifahan (pemerintahan) dan amirulmu’minin (pemimpin orang mukmin). Para ulama mengartikan Imam sebagai orang yang dapat diikuti dan ditauladani serta menjadi orang yang berada di garda terdepan.
Rasulullah adalah imamnya para imam, khalifah adalah imamnya rakyat, dan al-Qur`an adalah imamnya kaum muslimin. Sesuatu yang dapat diikuti tidak hanya manusia, tapi juga kitab. Kalau manusia, maka yang dapat ditauladani ialah perkataan dan perbuatannya. Kalau kitab, maka yang dapat diikuti dan dipedomani adalah ide dan gagasan-gagasannya.
Khalifah, dilihat dari segi bahasa akar katanya terdiri dari tiga huruf yaitu kha`, lam dan fa. Kata khalifa yang berasal dari kata kerja khalafa berarti pengganti atau penerus. Dalam al-Qur’an (al-Baqarah:30; Shad:26) kata khalifah mengacu kepada pengertian ”penerima otoritas di atas bumi yang bersumber dari Tuhan”. Dengan demikian, pengertian istilah khalifah sebagaimana lazimnya dipergunakan adalah merupakan produk pengalaman umat setelah meninggalnya Nabi. Sebelum wafatnya, istilah khalifah belum ada.
Para ulama, memaknai kata khalifah menjadi tiga macam arti yaitu mengganti kedudukan, belakangan dan perubahan. Dalam al-Qur`an ditemukan dua bentuk kata kerja dengan makna yang berbeda. Bentuk kata kerja yang pertama ialah khalafa-yakhlifu dipergunakan untuk arti “mengganti”, dan bentuk kata kerja yang kedua ialah istakhlafa-yastakhlifu dipergunakan untuk arti “menjadikan”.
Pengertian mengganti dapat merujuk pada pergantian generasi ataupun pergantian jabatan kepemimpinan. Tetapi ada satu hal yang perlu dicermati bahwa konsep yang ada pada kata kerja khalafa disamping bermakna pergantian generasi dan pergantian kedudukan kepemimpinan, juga berkonotasi fungsional artinya seseorang yang diangkat sebagai pemimpin dan penguasa di muka bumi mengemban fungsi dan tugas-tugas tertentu.
Jamak dari kata khalifah ialah khalaif dan khulafa. Term ini dipergunakan untuk pembicaraan dalam kaitan dengan manusia pada umumnya dan orang mukmin pada khususnya. Sedangkan khulafa dipergunakan al-Qur`an dalam kaitan dengan pembicaraan yang tertuju kepada orang kafir.
Ulul al-Amr, istilah ini terdiri dari dua kata yaitu; Ulu artinya pemilik dan al-Amr artinya perintah atau urusan. Kalau kedua kata tersebut digabung, maka artinya ialah pemilik kekuasaan. Pemilik kekuasaan di sini bisa bermakna Imam dan Ahli al-Bait, bisa juga bermakna para penyeru ke jalan kebaikan dan pencegah ke jalan kemungkaran, bisa juga bermakna fuqaha dan ilmuan agama yang taat kepada Allah SWT.
Al-Malik, akar kata nya terdiri dari tiga huruf, yaitu mim, lam dan kaf, artinya ialah kuat dan sehat. Dari akar kata tersebut terbentuk kata kerja Malaka-Yamliku artinya kewenangan untuk memiliki sesuatu. Jadi term al-Malik bermakna seseorang yang mempunyai kewenangan untuk memerintahkan sesuatu dan melarang sesuatu dalam kaitan dengan sebuah pemerintahan. Tegasnya term al-Malik itu ialah nama bagi setiap orang yang memiliki kemampuan di bidang politik dan pemerintahan.

Dalil Kepemimpinan
Semua ulama dan fuqaha dari generasi ke generasi sepakat bahwa untuk menjalankan sebuah roda pemerintahan atau khilafah merupakan kewajiban agama yang sangat agung. Mereka menggunakan argumentasi fundamental dan esensial yang dinukilkan langsung dari nash sharih al-Qur’an, al-Hadits dan kaidah-kaidah ushul fiqh.
Dalil al-Qur’an yang membahas tentang imamah (kepemimpinan) dapat ditelusuri dan dikaji sebagaimana yang difirmankan Allah SWT, “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila mendapatkan hukum dan antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil,” (QS.An-Nisa:58).
Firman Allah SWT tersebut adalah perintah umum yang mencakup semua bentuk amanah. Agama adalah amanah dan syari’ah adalah amanah. Adapun hukum dan syari’ah adalah amanah. Dan seorang pemimpin yang melaksanakan syari’ah adalah amanah. Disinilah letak wajibnya memilih seorang khalifah atau pemimpin. Ibnu Jarir menegaskan bahwa asbabun nuzul (sebab-sebab turun ayat) QS. An-Nisaa:58 tersebut adalah berkenaan dengan perintah wullatul amr (pemimpin yang sah).
Iqbal dengan mengutip perkataan Ali bin Abi Thalib sebagaimana yang diriwayatkan oleh Mushab ibn Sa’ad, mengatakan “Hak atas seorang imam adalah menghukumi dengan apa yang diturunkan Allah SWT dan menyampaikan amanah. Apabila seorang imam telah melaksanakan semua itu, maka wajib bagi manusia untuk mendengarkan, mentaati dan menjawab panggilannya. Perkataan yang paling mulia menurutku, adalah orang yang mengatakan al-Qur’an adalah kitab Allah dan melaksanakan amanah yang dilimpahkan melalui wewenangnya secara adil dan bijaksana”.
Syaikhul Islam, Ibn Taymiyah berkata bahwa ayat tersebut merupakan kalam Allah yang sangat berharga dalam memberikan interpretasi tentang perlunya ketaatan dan kepatuhan terhadap pemerintahan sesuai dengan karakteristik negara Islam, sebagaimana yang difirmankan oleh Allah SWT dalam ayat selanjutnya dari QS.al-Nisa’, ”Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah SWT dan taatilah rasul-Nya dan ulil amr diantara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu maka kembalikanlah ia kepada Allah SWT (al-Qur’an) dan rasul (al-Hadits) jika kamu benar-benar beriman kepada Allah SWT dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik takwilnya ” (QS. Al-Nisa’:59).
Bila diteliti dan ditelaah secara seksama dan komprehensip terlihat bahwa kedua ayat tersebut mencakup rukun-rukun sebuah khilafah atau pemerintahan yang terdiri dari; pertama, para pemegang kekuasaan hukum ialah wullatul amr (pemerintahan yang sah) sesuai petunjuk syar’i dan menjalankan hukum-hukum syari’at. Kedua, al-Ummah (masyarakat) mempunyai kewajiban untuk tunduk dan taat pada ulil amr. Ketiga, peraturan, perundang-undangan dan disiplin hukum yang berlaku yaitu syari’at agama Islam.
Pembahasan tentang kepemimpinan yang bersumberkan pada dalil Hadits Nabi Muhammad SAW, cukuplah banyak diantaranya yang cukup populer adalah ”Setiap kamu adalah pemimpin dan setiap kamu bertanggungjawab atas kepemimpinannya, seorang imam adalah pemimpin dan ia bertanggungjawab atas kepemimpinannya. Seorang suami adalah pemimpin pada anggota keluarganya dan ia bertanggungjawab atas kepemimpinannya”. (HR. Buhori).
Tak kalah jelasnya adalah Hadits Nabi yang diriwayatkan oleh Muslim yang artinya, ”Barangsiapa melepaskan tangan dari mentaati (imamnya), ia akan menemui Allah pada hari kiamat tanpa punya pembela bagi dirinya. Barangsiapa mati sedangkan dirinya tidak ada bai’at (kepada imam) maka ia mati dalam keadaan Jahiliyah” (HR. Muslim).
Hadits yang kedua ini yang dijadikan rujukan dan pedoman bagi sebagian umat Islam yang mengikatkan diri dalam sebuah bai’at kepemimpinan. Sekalipun hal tersebut terkesan sangat dipaksakan dan mengada-ada yang berakibat pada penafian rasionalitas dan akal pikiran yang sehat. Pemahaman yang kurang tepat terhadap Hadits tersebut berakibat pada pengkultusan kepemimpinan yang berlebihan. Bahkan melebihi kepada Tuhan dan Nabi-nya. Padahal Nabi sendiri telah mengingatkan umatnya untuk tidak mengkultuskan pemimpin. Karena dihadapan Allah SWT semua sama yang membedakan hanyalah kadar keimaman dan ketaqwaannya.
Sekalipun demikian, tidak berarti umat Islam kurang peduli dan tidak perhatian terhadap masalah kepemimpinan. Semuanya diatur dan diukur secara adil dan bijaksana. Disepakati kalangan ulama’ dan fuqaha bahwa terdapat keharusan adanya seorang imam guna menyatukan suara umat dan mengurus kepentingan keduniaan maupun keagamaannya.
Kesadaran akan pentingnya masalah kepemimpinan, maka sepeninggal Rasulullah SAW, para sahabat menaruh perhatian besar untuk segera memilih dan mengangkat seorang imam. Abu Bakar akhirnya dipercaya untuk mengemban amanah berat tersebut yang kemudian dikenal dengan istilah khalifah. Umat Islam pun terhindar dari keretakan dan perpecahan.
Tidak dipungkiri mendalami ajaran Islam yang agung dan benar, memilih seorang pemimpin bukan tujuan final dari substansi agama, tetapi ia merupakan kelaziman zaman. Disadari bahwa kewajiban agama tidak mungkin diterapkan secara komprehensip dan simultan tanpa adanya pranata-pranata yang kongkrit.
Pranata-pranata tersebut dimungkinkan untuk melaksanakan kewajiban syari’at ilahiyah. Maka dalam sebuah kaidah fiqih dinyatakan, ”Mala yatimmu al-wajibu illa bihi fahuwa wajibun” (Jika kewajiban tidak bisa sempurna kecuali dengannya, maka ia hukumnya adalah wajib).
Kesempurnaan tegaknya nilai-nilai al-Qur’an dan al-Hadits dalam suatu masyarakat, bangsa dan negara hanya dapat diwujudkan dengan sesungguhnya bila didukung oleh pranata yang mengiringinya. Imam atau pemimpin adalah pranata yang mengiringi terwujudnya tegaknya nilai-nilai al-Qur’an dan al-Hadits, maka adalah wajib hukumnya bagi masyarakat muslim untuk memilih dan menetapkan seorang pemimpin.
Imam al-Mawardi dalam kitab al-Ahkam al-Sulthaniyah sebagaimana yang dikutip Iqbal mengatakan, ”Aqdul imamati liman yaqumu biha fi al-Ummati wajibun bil ijma’i” (mengangkat imam untuk mengurusi umat hukumnya adalah wajib menurut ijma’). Sehingga ia bisa mengurusi umat agar agama terjaga dengan wewenangnya dan berjalan sesuai dengan rule dan menurut sunnah-sunnah agama dan hukum-hukumnya.
Bagi seorang fuqaha sebagaimana Imam Ahmad ibn Hambal mengatakan, bila tidak adanya seorang pemimpin maka akan berakibat timbulnya suatu fitnah. Fitnah ini harus dicegah karena berakibat pada kehancuran dan kerusakan (fasad). Mencegah kehancuran dan kerusakan adalah kewajiban.
Mengangkat seorang imam atau pemimpin adalah wajib. Karena itu utamakan dan segerakan serta tak boleh ditunda-tunda. Perkataan beliau yang populer dalam hal ini adalah, ”al-Fitnatu idza lamyakun imamun yakumu bi amrinnasi” (Adalah fitnah apabila tidak ada imam yang berdiri mengurusi manusia).
Pemahaman yang bijak dan mulia tentang pentingnya sebuah kepemimpinan juga dikemukakan oleh generasi-generasi sesudahnya, Syeikhul Islam Ibn Taymiyah yang hidup pada abad pertengahan menyatakan bahwa membentuk pemerintahan dengan jalan religuitas dan mengangkat kepemimpinan sesuai dengan syari’ah adalah manhaj (jalan) merintis ketentraman untuk menjaga umat dan menjaga harta benda.

Prinsip Dasar Pemimpin
Impian dan harapan besar umat terhadap pemimpin, mengantarkan betapa penting dan berartinya peran seorang pemimpin dalam mendesain sebuah masyarakat, bangsa dan negara. Sejarah membuktikan, kejayaan dan keemasan sebuah bangsa sangat ditentukan oleh kualitas dan kapasitas para pemimpinnya.
Sebaliknya sebuah bangsa yang sebelumnya besar dan beradab hancur dan tak berarti karena kerakusan, keserakahan dan buruknya sikap mental para pemimpinnya. Suatu contoh, hancurnya Daulah Umayyah dan Daulah Abbasiyah, lebih disebabkan oleh karena penerus tahta mahkota kekhalifahan berada di tangan-tangan pemimpin yang lemah dan tak bermoral. Hubbuddunnya (cinta dunia) lebih kentara dan lebih lekat dibanding dengan hubbul-akhirah (cinta akhirat).
Islam memberikan dasar-dasar normatif dan filosofis tentang kepemimpinan yang bersifat komprehensip dan universal. Tidak hanya untuk umat Islam tapi juga untuk seluruh umat manusia. Prinsip-prinsip kepemimpinan dalam Islam adalah sebagai berikut; pertama, hikmah, ajaklah manusia ke jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan nasehat yang baik lagi bijaksana (QS. al-Nahl:125). Kedua, diskusi, jika ada perbedaan dan ketidaksamaan pandangan, maka seorang pemimpin menyelesaikan dengan diskusi dan bertukar pikiran (QS. al-Nahl:125).
Ketiga, qudwah, kepemimpinan menjadi efektif apabila dilakukan tidak hanya dengan nasihat tapi juga dengan ketauladanan yang baik dan bijaksana (QS. al-Ahdzab:21). Pepatah mengatakan, satu ketauladanan yang baik lebih utama dari seribu satu nasehat. Memang kesan dari sebuah keteladanan lebih melekat dan membekas dibanding hanya sekedar nasehat seorang pemimpin.
Keempat, musyawwarah, adalah suatu bentuk pelibatan seluruh komponen masyarakat secara proporsional dalam keikutsertaan dalam pengambilan sebuah keputusan atau kebijaksanaan (QS. Ali Imran:159, QS. As-Syura:38). Dengan musyawwarah, maka tidak ada suatu permasalahan yang tak dapat diselesaikan. Tentu dengan prinsip-prinsip bilhikmah wamauidhatil khasanah yang harus dipegang teguh oleh setiap komponen pemerintah atau imamah.
Kelima, adl, tidak memihak pada salah satu pihak. Pemimpin yang berdiri pada semua kelompok dan golongan, (QS.al-Nisa’:58&135, QS. al-Maidah:8) Dalam memimpin pegangannya hanya pada kebenaran, shirathal mustaqim (jalan yang lurus). Timbangan dan ukurannya bersumber pada al-Qur’an dan al-Hadits. Kecintaannya hanya karena Allah dan kebencian pun hanya karena Allah. Hukum menjadi kuat tidak hanya saat berhadapan dengan orang lemah, tapi juga menjadi kuat saat berhadap-hadapan dengan orang kuat.
Keenam, kelembutan hati dan saling mendoakan. Kesuksesan dan keberhasilan Rasulallah dan para sahabat dalam memimpin umat, lebih banyak didukung oleh faktor performa pribadi Rasul dan para sahabat yang lembut hatinya, halus perangainya dan santun perkataannya. Maka Allah SWT menempatkan Muhammad Rasulallah sebagai rujukan dalam pembinaan mental dan moral sebagaimana firmannya, ”Laqad kana lakum fi Rasulillahi uswatun hasanah” (Sungguh ada pada diri Rasul suri tauladan yang baik), (QS. al-Ahdzab:21 dan al-Qalam:10).
Ketujuh, dari prinsip dasar kepemimpinan Islami adalah kebebasan berfikir, kreativitas dan berijtihad. Sungguh amat luar biasa, sepeninggal Rasulallah para sahabat dapat menunjukkan diri sebagai sosok pemimpin yang mandiri, kuat, kreatif dan fleksibel.
Kelembutan pribadi Abu Bakar (khalifah ke-1) tak menjadikan dirinya menjadi sosok pemimpin yang lemah, malah sebaliknya ia menjadi pemimpin yang kuat dan tangguh. Tak gentar menghadapi musuh-musuh Islam. Ketegasan beliau dibuktikan dengan kesungguhan memerangi para pemberontak, nabi palsu dan kaum yang tak mau membayar zakat.
Kebalikannya ketegaran Khalifah Umar bin Khattab (khalifah ke-2) akhirnya menjadi sosok yang lembut, sederhana dan bersahaja. Sekalipun ia seorang khalifah dan menyandang gelar amirul mu’minin, tak menjadikan kehidupan diri dan keluarganya berubah drastis, bergelimang harta dan tahta atau menampilkan diri sebagai sosok pembesar yang suka ”petentang-petenteng” dan pamer kekuasaan.
Yang terjadi justru sebaliknya, Umar bin Khattab lebih menampakkan diri sebagai sosok yang low profil high produc. Tak salah kiranya bila banyak rakyatnya dan pejabat negara lain yang terkecoh dengan penampilan fisiknya dan tak mengira bahwa yang berdiri dihadapannya adalah seorang khalifah yang disegani dan dicintai rakyatnya.
Dua sosok pemimpin penerus Rasulallah yang berbeda karakter tersebut, disaat sama-sama diberi amanah untuk memimpin umat dan mengelola roda pemerintahan yang tampak adalah sosok pemimpin yang banyak dipengaruhi dan diwarnai oleh nilai-nilai al-Qur’an dan al-Hadits. Tidak sebagai pemimpin yang dipengaruhi dan dikuasai oleh karakter pribadi dan hawa nafsu.
Kedelapan, sinergis membangun kebersamaan. Mengoptimalkan sumber daya insani yang ada. Hebatnya Rasulullah salah satunya adalah kemampuan beliau dalam mensinergikan dan membangun kekuatan dan potensi yang dimiliki umatnya. Para sahabat dioptimalkan keberadaannya. Keberbedaan potensi yang dimiliki sahabat dan umat dikembangkan sedemikian rupa, sehingga menjadi pribadi-pribadi yang tangguh baik mental maupun spritualnya.
Berbagai misi kenegaraan dipercayakan Rasulallah kepada para sahabatnya seperti misi ke Habasyah, Yaman, Persia dan Rumawi. Muncullah sosok-sosok sahabat seperti Abu Dzar Al-Ghifari, Mu’adz bin Jabal, Salman al-Farisi dan Amr bin Ash. Dalam usia yang relatif muda, mereka sudah memimpin berbagai ekspedisi kenegaraan dan berbagai pertempuran penting.

Syarat Pemimpin
Prinsip dasar pemimpin tersebut sebagaimana yang digariskan dalam al-Qur’an dan Sunnah Nabi, dalam perkembangannya mengalami perluasan arti dan pemahaman. Bahkan tak jarang mengalami pembiasan yang jauh dari prinsip dasar yang sesungguhnya. Hal ini tak lepas dari ”hiruk pikuk” kepentingan politik dan kepentingan kelompok atau golongan.
Konsekuensi dari kondisi tersebut pada akhirnya berpengaruh pada penentuan syarat-syarat seorang pemimpin yang dirumuskan oleh para ulama dan fuqaha. Pendapat dan ijtihad mereka sangat tergantung dan ditentukan oleh situasi dan kondisi yang mengitarinya. Seperti pendapat para ulama dan fuqaha.
Al-Mawardi, tokoh utama dari kalangan Qadhi yang hidup pada abad pertengahan menyebutkan syarat utama bagi seorang pemimpin yaitu; (1) adil dalam arti yang luas, (2) punya ilmu untuk dapat melakukan ijtihad di dalam menghadapi persoalan-persoalan dan hukum, (3) sehat pendengaran, mata dan lisannya supaya dapat berurusan langsung dengan tanggungjawabnya, (4) sehat badan, sehingga tidak terhalang untuk melakukan gerak dan melangkah cepat, (5) pandai dalam mengendalikan urusan rakyat dan kemaslahatan umum, (6) berani dan tegas membela rakyat dan menghadapi musuh, dan (7) dari keturunan Quraisy.
Ibn Hisyam, ulama fiqih besar pada zamannya menyebut lima syarat yang harus ada pada diri seorang pemimpin. Syarat ini lebih sederhana dibandingkan dengan al-Mawardi, yaitu; (1) dari kalangan Qurasy, (2) baligh, merujuk pada sabda Nabi, ”Pena diangkat dari tiga golongan, anak-anak sampai dewasa, orang gila sampai sembuh, dan orang tidur sampai sadar”, (3) laki-laki, dasar yang digunakan adalah sabda Rasulullah, ”Tidak akan beruntung suatu kaum yang menyerahkan urusan mereka kepada seorang perempuan”, (4) muslim, karena Allah SWT berfirman ”Allah tidak akan memberikan jalan kepada orang kafir untuk (menguasai) kaum mukmin” (QS. An-Nisa’:141), dan (5) paling menonjol di dalam masyarakatnya, mengetahui hukum-hukum agama, secara keseluruhan taqwa kepada Allah SWT, dan tidak diketahui berbuat fasik.
Al-Ghazali, dalam beberapa bukunya secara ringkas juga membicarakan tentang syarat-syarat seorang pemimpin. Ia mengatakan, ”Tidaklah diragukan bahwa menentukan seseorang untuk dijadikan imam sekedar menuruti selera tidaklah boleh. Dia haruslah orang yang memiliki keistimewaan dibandingkan dengan seluruh orang yang ada”. Al-Ghazali kemudian menyebutkan syarat-syarat sebagai berikut; (1)merdeka, (2) laki-laki, (3) mujtahid, (4) berwawasan luas, (5) adil, (6) baligh, dan (7) tidak boleh wanita.
Ibn Khaldun, seorang kritikus yang tajam dan pembangun sosiologi juga mengetengahkan beberapa syarat yang harus dipenuhi oleh seorang yang menduduki jabatan sebagai seorang imam (pemimpin) yaitu; pertama, berilmu, karena ia menjadi pelaksana hukum Allah SWT. Ia harus mujtahid dan tidak bertaklid. Kedua, adil, pemimpin adalah jabatan tertinggi, selain menduduki dan meliputi jabatan keagamaan juga jabatan politik di tengah-tengah umat dan negara.
Ketiga, punya kemampuan, adalah keberanian untuk menegakkan hukum dan menghadapi musuh, ahli strategi dan pandai memobilisasi masyarakat, arif dan peka terhadap keadaan serta kuat di dalam mengendalikan politik, keempat, sehat badan seperti selamat dari buta, bisu, tuli dan pekak serta selamat dari cacat mental seperti gila dan hilang akal.
Disadari oleh Ibn Khaldun cacat fisik dan mental berpengaruh terhadap aktivitas fisik dan berpikir serta menjalankan tugas yang semestinya diemban. Sekiranya cacat sebagian saja, tetap mengurangi kesempurnaan sebagai seorang pemimpin yang tingkat mobilitasnya tinggi. Maka Ibn Khaldun tetap pada pendirinya yaitu memandang kurang memenuhi syarat bagi mereka yang mempunyai cacat fisik untuk menjadi seorang pemimpin.
Albaqilani, seorang ulama besar membahas secara panjang lebar tentang syarat yang harus dipenuhi oleh seorang imam, terdiri dari; (1) orang Qurasy asli, (2) memiliki ilmu yang tarafnya sama dengan seorang qadhi, 93) harus memiliki pengetahuan yang dalam mengenai urusan perang, (4) kemiliteran dan pasukan tempur, (5) mampu melindungi wilayah dan membela rakyat, dan (6) mampu melakukan pembalasan terhadap orang berlaku dhalim dan membela orang teraniaya dengan segala kepentingan yang menyangkut urusan umat.
Selain itu, seorang pemimpin tidak lemah hati, tidak gampang iba dalam penegakan hukum dan tidak pula bersikap lemah mengambil tindakan terhadap pelanggar hukum. Ia harus menjadi contoh dalam keilmuan dan masalah-masalah lain yang memberikan nilai lebih padanya.
Berdasar pada pendapat-pendapat para ulama dan fuqaha tentang syarat seorang imam sebagaimana dipaparkan diatas, bila dikaji lebih mendalam menunjukkan bahwa persyaratan-persyaratan tersebut sangat ditentukan oleh situasi dan kondisi politik dimana para ulama dan fuqaha berada. Dan juga sejauhmana kedekatan ulama dan penguasa pada saat itu. Sehingga fatwa yang disampaikan sangat diwarnai oleh kondisi politik yang mengitarinya.
Suatu contoh persyaratan fisik yang cukup ketat yang dikemukakan oleh Ibn Khaldun, tak lepas dari kemajuan dan tingginya mobilitas yang dilakukan pemimpin pada saat itu sebagai cermin dari masyarakat yang maju. Demikian pula persyaratan tentang orang Qurasy, yang dikemukakan oleh Ibn Hisyam, al-Baqilani dan al-Mawardi tak lepas dari keberadaan mereka di Jazirah Arabia khususnya dan Timur Tengah pada umumnya. Sehingga fatwa-fatwa yang mereka sampaikan sangat kontekstual.
Namun demikian bila ditarik batas merah pemikiran mereka, sesungguhnya ada kesamaan diantara para ulama dan fuqaha. Kesamaan itu lebih bersifat mayor dari pada minor, yaitu;
Pertama, persyaratan yang bersifat fisik. Artinya, pemimpin harus memiliki fisik yang prima, sehat, dan kuat. Sebagai ikhtiar untuk mendukung tugas dan tanggungjawabnya. Sehingga mobilitasnya berjalan dengan normal, lancar dan tidak terganggu oleh fisik.
Kedua, persyaratan yang bersifat mental dan spritual. Seorang pemimpin dituntut untuk memiliki kualitas mental pribadi yang teruji seperti jujur, adil dan terpercaya. Ia sosok orang yang beriman dan bertaqwa. Kualitas pengamalan agamanya tidak diragukan, dekat dengan Tuhannya dan dekat pula dengan sesamanya. Hablum minallah dan hablum minannas sama-sama terjaga dengan baik..
Ketiga, persyaratan yang bersifat keahlian dan kemampuan. Maksudnya seorang pemimpin itu harus berilmu, berwawasan luas, cerdas, kompeten, profesional dan bertanggungjawab.

Kepemimpinan Nabi dan Rasul
Kepemimpinan yang sempurna itu hanyalah ada pada diri Nabi dan Rasul. Karena mereka adalah hamba pilihan Allah SWT. Adalah wajar bila umat menjadikan para Nabi dan Rasul itu sebagai rujukan dan tauladan dalam kepemimpinan. Salah satu caranya dengan menghidupkan kembali nilai-nilai universal kepemimpinan para Nabi dan Rasul. Nilai-nilai universal tersebut kita tampilkan dalam perspektif kepemimpinan mutakhir saat ini.
Diantara Nabi dan Rasul yang teristimewa dihadapan Tuhannya adalah Muhammad Rasulallah. Oleh sebab itu, adalah hal yang seharusnya bagi umat Islam untuk menjadikan figur Muhammad SAW sebagai suri tauladan yang baik. Termasuk dalam hal kepemimpinan.
Allah SWT menyatakan, ”Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulallah itu suri tauladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah” (QS. Al-Ahdzab:21).
Pada Surat yang lain Allah juga mengatakan bahwa, ”Sesungguhnya engkau (Ya Muhammad) mempunyai budi pekerti yang amat tinggi (mulia)” (QS. Al-Qalam:4). Kemudian dipertegas lagi oleh Allah dalam firman-Nya, ”Dan apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah” (QS. Al-Hasyr:7).
Berdasar tiga Surat tersebut, menjadi jelas bagi kita bahwa Muhammad Rasulullah adalah hamba Allah yang diutus dan dipilih untuk dijadikan model atau untuk dijadikan tauladan dalam semua aspek kehidupan bagi umat sesudahnya. Termasuk salah satunya dalam hal kepemimpinan. Ada empat model kepemimpinan yang melekat pada diri Nabi Muhammad SAW., yaitu :
Siddiq, secara etimologis berarti benar, jujur, apa adanya, dan tidak menyembunyikan sesuatu. Ia merupakan lawan kata dari dusta. Dalam konteks yang berbeda, siddiq juga diartikan sebagai suatu yang haq. Siddiq terbagi dalam tiga kategori; (1) siddiq dalam perkataan, (2) siddiq dalam sikap, dan (3) siddiq dalam perbuatan.
Dalam kehidupannya para Nabi dan Rasul senantiasa menjunjung tinggi nilai-nilai kebenaran dan kejujuran. Terhindar dari perkataan, sikap dan perbuatan tidak terpuji, seperti berbohong dan berdusta. Sebagai pemimpin spritual, disamping juga kepala negara dan public figure, Nabi Muhammad SAW semenjak kecil sudah memposisikan diri dengan sikap dan prilaku yang siddiq. Disamping atas kehendak Allah, juga karena kepribadiannya yang mulia lagi agung. Sehingga oleh masyarakat Qurasy diberi gelar al-Amin (terpercaya).
Amanah, secara etimologis berarti kejujuran, kepercayaan, titipan dan terkadang diartikan juga dengan keadaan aman. Amanah dibagi dua; amanah dari Allah kepada manusia dan amanah manusia kepada manusia (QS. Al-Ahdzab:72). Amanah yang pertama berupa kemampuan berlaku adil dan tugas-tugas keagamaan, sedangkan amanah bentuk kedua adalah mewakilkan kepada orang lain untuk memelihara hak-haknya.
Taba’ taba’iy dalam kitab tafsirnya al-Mizan mengartikan amanah sesuatu yang dipercayakan Allah kepada manusia untuk memeliharanya demi kemaslahatan, kemudian amanat itu dikembalikan pada Allah sebagaimana yang dikehendakinya.
Bagi Rasulullah kepemimpinan adalah amanah yang pertanggungjawabannya tidak hanya kepada sesamanya namun juga kepada Allah SWT. Sebagai seorang pemimpin agama, pemimpin negara dan pemimpin umat, Muhammad Rasulallah telah menunjukkan kapasitas pribadinya yang amanah.
Tabligh, menurut bahasa artinya menyampaikan, mengutarakan, memberi atau mengeluarkan sesuatu kepada orang lain. Diperluas lagi juga dapat diartikan sebagai suatu ajakan atau dakwah. Karena tugas Nabi dan Rasul adalah menyampaikan risalah dan firman Allah kepada umat manusia.
Risalah yang disampaikan kepada kaumnya dan atau untuk universalitas umat manusia berisi tentang perintah dan larangan. Tak berhak baginya menambah atau mengurangi. Allah memerintahkan padanya untuk menegakkan yang makruf dan mencegah yang mungkar serta berlaku bijaksana dalam kedua urusan tersebut, (QS. Ali Imran: 110 dan QS. Al-Nahl:90).
Kepemimpinan erat kaitannya dengan tugas dan tanggungjawab untuk menyampaikan sesuatu kepada umat yang dipimpinnya. Hukum dan aturan yang dibuat Allah dan diperuntukkan pada umat manusia adalah tugas mulia yang harus disampaikan para Nabi dan Rasul kepada kaumnya agar terwujud suatu tatanan kehidupan yang bahagia di dunia dan bahagia di akhirat. Disamping memang karena kehendak Allah, para Nabi dan Rasul tersebut telah menjalankan tugas dengan seindah-indahnya dan sebaik-baiknya.
Fathanah, artinya cerdik, pandai, cerdas, pintar dan masih banyak arti lain yang semisal. Cerdik digunakan untuk membangun dan merancang sebuah strategi atau siasat. Pandai digunakan untuk menyelesaikan suatu masalah. Cerdas berguna untuk percepatan penyelesaian sebuah problem, sedangkan pintar digunakan untuk mecari berbagai macam alternatif penyelesaian terbaik.
Sebagai hamba pilihan, para Nabi dan Rasul oleh Allah SWT dianugerahi tingkat kecerdasan dan kepandaian yang melebihi dari kecerdasan dan kepandaian hamba-Nya yang lain. Kecerdikan dan kepandaian tersebut dipergunakan untuk merancang cita-cita luhur umat manusia yaitu; fiddunya hasanah wafil akhirati hasanah (bahagia di dunia dan bahagia pula di akhirat).
Keempat model kepemimpinan para Nabi dan Rasul sebagaimana yang dikemukakan di atas; siddiq, amanah, tabligh dan fathanah adalah sebuah sifat dan karakter terbaik untuk dijadikan tauladan dalam mengembangkan potensi kepemimpinan individu maupun kelompok.
Nilai-nilai yang terkandung dalam sifat siddiq, amanah, tabligh dan fathanah memiliki kekuatan yang dahsyat dan luar biasa. Keempatnya adalah satu kesatuan yang sinergis dan saling melengkapi. Variabel dari sifat-sifat tersebut sudah teruji kesuksesan dan keberhasilannya. Sebagaimana sukses dan berhasilnya para Nabi dan Rasul.
Karakter kepemimpinan sebagaimana yang ada pada Nabi dan Rasul sudah terbukti keberhasilannya. Tugas kita sekarang hanya tinggal mengembangkan karakter kepemimpinan tersebut agar lebih adpatif dan up to date dengan perkembangan zaman dan waktu.




Penutup
Kepemimpinan dalam Islam menempati posisi yang sangat strategis. Karena kepemimpinan adalah sebuah instrumen untuk mencapai cita-cita luhur sebuah bangsa dan negara. Yaitu terwujudnya suatu bangsa yang ”baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur” (bangsa yang baik, sejahtera dan dibawah lindungan Allah SWT). Oleh sebab itu, Islam menaruh perhatian yang cukup besar terhadap masalah kepemimpinan.
Kajian kepemimpinan dalam Islam, term yang digunakan adalah kata khalifah, imam, ulil amr dan al-mulk. Pengertian dari masing-masing term merujuk pada sebuah kemampuan seseorang untuk memposisikan diri sebagai leader (pemimpin) dan leadership (kepemimpinan).
Besar dan beratnya tugas yang diemban seorang pemimpin, maka dipersyaratkan padanya sebuah persyaratan yang kompleks dan komprehensip, meliputi tiga persyaratan utama yaitu; (1) persyaratan fisik, (2) persyaratan mental-spritual, dan (3) persyaratan keahlian dan kemampuan.
Karakter kepemimpinan yang telah menunjukkan kesuksesan dan keberhasilan dan ini yang perlu dijadikan tauladan adalah karakter kepemimpinan para Nabi dan Rasul yaitu ; siddiq, amanah, fathanah dan tabligh. Empat karakter kepemimpinan ini yang perlu dikembangkan seiring dengan perkembangan zaman dan waktu.













Daftar Pustaka


Agustian, Ary G. Rahasia Sukses Membangun Kecerdasan Emosional dan Spritual. Jakarta: Arga. 2006.

Amahzun, Muhammad. Manhaj Dakwah Rasulallah SAW. Jakarta: Qisthi Press. 2004.

Depag RI. Akhlak–Tauhid. Jakarta: Ditjen Bimbaga Islam. 1983.

Hamka, Buya. Doktrin Islam yang Menimbulkan Kemerdekaan dan Keberanian. Jakarta: Yayasan Idayu. 1983.

Hanafi. Pengantar Theology Islam. Jakarta: Pustaka al-Husna. 1987.

Iqbal M & Ali Fattah. Negara Ideal Menurut Islam, Kajian Teori Khilafah dalam Sistem Pemerintahan Modern. Jakarta: Ladang Pustaka & Intimedia. 2002.

Reynolds, Joe. Kepemimpinan Garis Terdepan, Menemukan, Mengembangkan dan Menjalankan Potensi Anda. Yogyakarta: Aditya Media. 1996.

Musa, Yusuf M. Politik dan Negara dalam Islam. Surabaya: Al-Ikhlas. 1990.

Nasution dkk. Ensiklopedi Islam Indonesia. Jakarta: Djambatan. 2002.

Wibowo dkk. SHOOT, Sharpening Our Concept and Tools. Bandung: PT Syaamil Cipta Media. 2002.

Wahyudi, Nafiri Imam. Sistematika Ajaran Islam. Malang: Universitas Brawijaya. 1997.

0 comments:

Copyright © 2013 FANTASI