Kritik Terhadap Fenomenologi Agama

Fenomenologi, sebagai perspektif teoritis atau pandangan filosofis yang berada di balik sebuah metodologi, dimasukkan oleh Michael Crotty ke dalam epistemologi konstruksionisme (interpretivisme) yang muncul dalam kontradistingsi dengan positivisme dalam upaya-upaya untuk memahami dan menjelaskan realitas manusia dan sosial. Seperti penjelasan Thomas Schwandt, yang dikutip Crotty, “interpretivisme dianggap bereaksi kepada usaha untuk mengembangkan sebuah ilmu alam dari yang sosial. Kertas peraknya pada umumnya adalah metodologi empirisis logis dan upaya untuk menerapkan kerangka itu kepada penyelidikan manusia”. Pendekatan positivis mengikuti metode-metode ilmu alam dan, melalui observasi terpisah dan diduga bebas nilai, mencoba mengidentifikasi ciriciri universal dari kemanusiaan, masyarakat, dan sejarah yang menawarkan penjelasan dan karenanya, kontrol dan kemampuan dapat diprediksi. Pendekatan interpretivis, sebaliknya, mencari interpretasi-interpretasi yang dikeluarkan secara kultural dan disituasikan secara historis tentang dunia kehidupan sosial.

Perdebatan ini akan dibagi ke dalam tiga tema, yaitu (1) keberlangsungan fenomenologi sebagai tradisi filosofis; (2) motif teologis; (3) dan keterlibatan ilmuan agama secara sosial dalam masyarakat.

1. Kritik Gavin Flood tentang Keberlangsungan Fenomenologi Sebagai Sebuah Tradisi Filosofis
Yang pertama adalah kritik yang dilakukan Gavin Flood tentang keberlangsungan fenomenologi sebagai tradisi filosofis yang menjadi dasar pengembangan riset agama. Menurut Flood, metode yang diperkenalkan para fenomenolog, yang mencoba membatasi pengaruh bias-bias yang mungkin merusak, yang digambarkan oleh Kristensen dan Parrinder sebagai aplikasi teori-teori evolusioner kepada agama dan budaya, serta oleh Eliade dan Smart sebagai kecenderungan-kecenderungan reduksionistis dalam ilmu-ilmu sosial, didasari pada teori filosofis yang memasukkan bias yang lebih dalam, namun lebih sederhana, ke dalam cara suatu pengetahuan diperoleh dan diatur. Dengan mengasumsikan pengalaman universal manusia pada jantung semua agama yang dipahami secara kognitif (intuisi) oleh “subjek yang terpisah”, para fenomenolog mengabaikan, atau setidaknya memperkecil, pentingnya konteks-konteks kultural, historis dan sosial. Di samping itu, “keistimewaan epistemik” yang diberikan kepada periset tetap tersembunyi, karena ia menyembunyikan relasi kekuasaan antara periset dengan komunitas yang diteliti. Dengan melakukan pengurungan fenomenologis untuk menghilangkan semua tipe prasangka, ilmuan agama secara paradoksal tetap mengkontrol pengetahuan dan dengan demikian membuat aturanaturan untuk menafsirkan fenomena keagamaan. Ini membuat fenomenologi, setidaknya, rentan terhadap tuduhan bahwa ia sebenarnya menyebarkan satu metode untuk mempertahankan kekuasaan terhadap objek kajian akademis, meskipun ada kesepakatan maya di kalangan fenomenolog bahwa pengalaman keagamaan personal mereka memberikan akses istimewa ke dalam pikiran seorang praktisi keagamaan. Klaim terakhir terhadap pandangan keagamaan ini, yang tidak terdapat pada ilmuan lainnya, sangat kuat menyiratkan “agenda teologis” di balik fenomenologi agama, dan kemudian menyebabkan ketegangan antara teologi dan kajian akademis tentang agama-agama.

2. Kritik Donald Wiebe terhadap Motif Teologis van der Leeuw, Elliade dan Smart
Wiebe menuduh ketiga tokoh ini telah melakukan teologisasi terhadap kajian akademis tentang agama-agama. Van der Leeuw, misalnya, bersikukuh bahwa setiap ilmuan mesti berangkat dari sebuah orientasi kultural terhadap kehidupan, yang sangat serupa dengan posisi keyakinan pribadi, dan menegaskan bahwa karena ilmuan disituasikan dalam sebuah konteks khusus, maka aktivitas ilmiahnya tidak dapat dipisahkan dari “pencarian religio-kultural” ilmuan itu sendiri. Menurut Wiebe, van der Leeuw dalam hal ini bersifat kekanak-kanakan dan menyesatkan, karena pandangan tersebut mencegah bias-bias peneliti dari keadaan dikenali dan diklarifikasi secara kritis-ilmiah. Argumen ini menghancurkan tujuan akademis yang didukungnya tepatnya karena ia “mengabaikan perbedaan-perbedaan kritis antara agama dan kajian ilmiah-akademis tentang agama”. Ini berarti bahwa van der Leuuw, yang mencoba memindahkan tradisi Belanda yang telah dimulai oleh Chantepie de la Saussaye dan C. P. Tiele melampaui teologi, sebenarnya malah melakukan kebalikannya dengan mengarahkannya kembali kepada teologi. Kata Wiebe, “Dengan van der Leeuw … kajian agama tidak hanya tidak bergerak melampaui tahapan yang telah dicapai disiplin keilmuan itu di Belanda, namun lebih tepatnya kembali kepada pendekatan teologis awal—sebuah pendekatan yang sama saja dengan subversi terhadap kajian ilmiah agama.”
Singkatnya, kritik terhadap fenomenologi agamanya van der Leeuw, seperti dijelaskan Allen, didasari pada asumsi bahwa pendekatan fenomenologisnya didasari pada sejumlah penilaian dan asumsi teologis dan metafisis; seringkali bersifat subjektif dan begitu spekulatif; mengabaikan konteks kultural dan historis dari fenomena agama dan kurang bernilai bagi riset yang berbasis empiris.
Terhadap Elliade, Wiebe menyerang metode hermeneutikanya yang disebutnya sebagai “sebuah upaya untuk memulihkan kembali nilai-nilai dan makna-makna transenden yang telah ditinggalkan yang pernah diberikan kepada para penganutnya oleh tradisi-tradisi itu.” Pandangan ini didukung oleh penegasan Eliade bahwa bentuk-bentuk agama kuno dan primitif adalah paradigmatik bagi kehidupan agama secara umum karena mereka mengungkap “situasi-situasi eksistensial fundamental yang secara langsung relevan dengan manusia modern.” Wiebe melihat minat Elliade dalam tradisi-tradisi kuno dan primitif tidak berangkat dari satu pendekatan ilmiah terhadap kajian agama, karena ini “akan mengharuskan distorsi reduksionistik terhadap kebenaran agama dan karenanya, distorsi kebenaran tentang agama.” Wiebe beranggapan bahwa posisi anti-reduksionistik-nya Elliade menyembunyikan “agenda teologis yang terselubung”. Untuk mendukung hal itu, ia mengutip pandangan Elliade bahwa dengan menafsirkan agama secara “religius”, ilmuan memberikan kontribusi kepada “penyelamatan” “manusia modern”. “Pengetahuan tentang agama” dengan demikian menjadi “pengetahuan religius”, yang dalam pandangan Wiebe mengkonfirmasi metode hermeneutik Elliade “tidak bisa dibedakan dari religio-teologis.”
Baik van der Leeuw maupun Elliade menegaskan bahwa seorang yang religius mengakui adanya kekuatan transenden atau realitas yang supranatural sebagai sumber pengalaman keagamaan manusia. Mereka menegaskan bahwa ini benar buat orang beriman, bahkan mereka melampuai pernyataan ini dengan menegaskan bahwa yang transenden membentuk satu realitas ontologis, yang dalam sebagian hal ilmuan mesti mengalaminya secara personal jika pemahaman yang murni tentang agama ingin dicapai atau dikomunikasikan. Dengan begitu, van der Leeuw dan Elliade rentan pada tuduhan bahwa fenomenologi mereka serupa dengan teologi agama.
Begitu pula, gagasan-gagasan Ninian Smart, menurut Wiebe, ketika dianalisis secara hati-hati, memunculkan pula asumsi-asumsi teologis yang sama di balik fenomenologi agama. Ini tampak jelas pada penolakannya untuk mengikuti posisi “ateisme metodologis”nya Peter Berger karena alasan bahwa itu mungkin bisa menyakiti komunitas beriman. Smart juga bersikukuh pada pandangan bahwa “mempelajari agama” dan “merasakan kekuatan yang hidup dari agama” tidak hanya bisa berjalan bersama, tetapi “mesti berjalan bersama jika kajian tentang agama diharapkan bisa masuk ke dalam era baru yang menjanjikan.” Malah kebalikannya, petuah Smart ini “lebih mungkin memasuki kajian religio-teologis tentang agama yang darinya kajian ilmiah tentang agama pertama kali muncul.” Wiebe menyelidiki apa yang ia anggap deskripsi ambigu Smart karena memasukkan pertanyaan tentang kebenaran agama, yang melampaui kepentingan-kepentingan ilmiah, meskipun Smart mengatakan bahwa kajian agama sangat berbeda dari teologi. Dengan mengangkat isu tentang kebenaran agama, Smart sebenarnya membangun kembali ikatanikatan awal antara kajian akademis tentang agama dan kesalehan. Kembalinya Smart kepada perspektif teologis, menurut Wiebe, ditegaskan oleh caranya menghadapi epoché (pengurungan). Apa yang disebut Smart dengan “pengurungan ekspresi” sebaliknya memberikan ruang bagi ilmuan untuk memasukkan ke dalam penilaian-penilaian yang ditunda itu perasaan-perasaan yang diekspresikan oleh para penganut agama, tanpa mendukung atau mengabsahkan perasaan-perasaan itu. Pada titik inilah, kata Wiebe, ambiguitas posisi Smart muncul. Jika ilmuan agama bertujuan tidak hanya memperoleh pengetahuan tentang agama-agama, namun juga mengungkapkan keyakinannya tentang nilai-nilai dan sentimen-sentimen keagamaan, maka sesuatu yang lebih dari pengetahuan agama akan terkandung, jika bukan teologi, setidaknya metafisika.

0 comments:

Copyright © 2013 FANTASI